PEMBAHASAN

A.   Pengartian, Landasan, dan Rukun Ijarah.
1.      Pengetian Ijarah
Lafadz al-ijarah dalam bahasa arab berarti uph, sewa, jasa, atau imbalan. Al-ijarah merupakan salah satu bentuk kegiatan mu’amalah dalam memenuhi keperluan hidup manusia, saperti swa menyewa, kontrak atau menjual jasa perhotelan dal lain-lain.
a.       Ulama hanafiyah
عقد على المنافع بعوض
Artinya
“Akad atas sesuatu kemanfaatan dengan pengganti”
Ada yang menerjemahkan, ijarah seagai jual beli jasa (upah mengupah), yakni mengambil manfaat tenaga manusia, ada pula yang menerjemahkan sewa-menyewa, yakni mengambil manfaat dari barang. Dalam makalah ini penulis membagi ijarah menjadi dua bagian, yaitu ijarah atas jasa dan ijarah atas benda.
Transaksi ijarah di landasi adanya pemindahan manfaat (hak guna), bukan pemindahan kepemilikan (hak milik). Jadi pada dasarnya prinsip ijara sama saja prinsip jual beli,tapi perbedaannya terletak pada objek transaksinya. Bila pada jual beli objek transaksinya barang,pada jarah objek transaksinya barang maupun jasa.
Pada dasarnya, ijarah di defnisikan sebagai hak untuk memanfaatkan memenfatkan barang/jasa dengan membayar imbalan tertentu. Menurut fatwa dewan syariah nasional, ijarah adalah akad pemindahan pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang atau jasa dalam waktu tertentu melalui pemayaran sewa/upah, tanpa di ikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri. Dengan demikian, dalam akad ijarah tidak ada perubahan kepemilikan, tetapi hanya perpindahan hak guna saja dari yang menyewakan kepada penyewa (Rachmat, 2000: 121)

2.      Landasan Syara’
Hampir semua ulama ahli fiqh sepakat bahwa ijarah disyariatkan dalam islam. Jumhur ulama berpendapat bahwa ijarah disyariatkan berdasarkan Al-Quran, As-Sunnah, dan Ijma’.
a.       Al-Quran
 ÷bÎ*sù z`÷è|Êör& ö/ä3s9 £`èdqè?$t«sù £`èduqã_é&
Artinya
“Jika mereka menyusukan (anak-anakmu) untukmu maka berikanlah mereka upahnya.” (QS. At-Thalaq : 6)

ôMs9$s% $yJßg1y÷nÎ) ÏMt/r'¯»tƒ çnöÉfø«tGó$# ( žcÎ) uŽöyz Ç`tB |Nöyfø«tGó$# Èqs)ø9$# ßûüÏBF{$# ÇËÏÈ   tA$s% þÎoTÎ) ߃Íé& ÷br& y7ysÅ3Ré& y÷nÎ) ¢ÓtLuZö/$# Èû÷ütG»yd #n?tã br& ÎTtã_ù's? zÓÍ_»yJrO 8kyfÏm ( ÷bÎ*sù |MôJyJø?r& #\ô±tã ô`ÏJsù x8ÏZÏã ( !$tBur ߃Íé& ÷br& ¨,ä©r& šøn=tã 4 þÎTßÉftFy bÎ) uä!$x© ª!$# šÆÏB tûüÅsÎ=»¢Á9$# ÇËÐÈ  

Artinya
“Salah seorang dari kedua wanita itu berkata, “Ya ayahku,ambilah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.” Berkatalah dia (Syu’aib),
“Sesungguhnya aku bermaksud ingin menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun. Dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun , maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu.” (QS. Al-Qashas : 26 – 27)
b.      As-Sunnah
اعطواالاجير اجره قبل ان يجف عرقه. ( رواه ابن ماجه عن ابن عمر )
Artinya
“Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering.”
(HR. Ibn Majah dari Ibn Umar)

من استاءجر اجيرا فايعمل اجره. ( رواه عبد الرزاق عن ﺃبي هريرة )
Artinya
“barang siapa yang meminta untuk menjadi buruh , beri tahukanlah upahnya.”

c.       Ijma’
Umat islam pada masa sahabat telah berijma’ bahwa ijarah dibolehkan sebab bermanfaat bagi manusia.

3.      Rukun Ijarah
Menurut ulama hanafiyah,rukun ijarah adalah ijab dan qabul, antara lain dengan menggunakan kalimat : al-ijarah, al-isti’jar, al-ikti’ra’, dan al-ikra.) (Rasjid, 1981: 290-291)
Adapun menurut jumhur ulama’, rukun ijarah ada 4, yaitu:
1.      ‘Aqid (orang yang akad).
2.      Shighat akad
3.      Ujrah (upah)
4.      Manfaat



B.   Syarat Ijarah
Syarat ijarah terdiri empat macam, sebagaimana syarat dalam jual beli, yaitu syarat al-inqad(terjadinya akad, syarat sn-nafadz (syarat pelaksanaan akad), syarat sah, dan syarat lazim. (Nasrun, 2007: 231)
1.      Syarat terjadinya akad
Syarat terjadinya akad berkaitan dengan aqid, zat akad, dan tempat akad. Sebagaimana telah dijelaskan dalam jual-beli, menurut ulama Hanafiyah, aqid disyaratkan harus berakal dan mumayyiz (minimal 7 tahun), serta tidak disyaratkan harus baligh. Akan tetapi jika bukan barang miliknya sendiri, akad ijarah anak mumayyiz, dipandang sah bila telah diizinkan walinya.
2.      Syarat pelaksanaan (an-nafadz)
Agar ijarah terlaksana, barang harus dimiliki oleh ‘aqid atau ia memiliki kekuasaan penuh untuk akad (ahliah). Denga demikian, ijarah al-fudhul (ijarah yang dilakukan oleh orang yang tidak memiliki kekuasaan atau tidak diizinkan oleh pemiliknya) tidak dapat menjadikan adanya ijarah.
3.      Syarat  Sah Ijarah
Keabsahan ijarah sangat berkaitan dengan ‘aqid (orang yang akad), ma’qud ‘alaih (barang yang menjadi objek akad), ujrah(upah), dan zat akad (nafs al-‘aqad), yaitu:
a.       Adanya keridoan dari kedua pihak yang akad
Syarat ini didasarkan pada firman Allah SWT. :

$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#þqè=à2ù's? Nä3s9ºuqøBr& Mà6oY÷t/ È@ÏÜ»t6ø9$$Î/ HwÎ) br& šcqä3s? ¸ot»pgÏB `tã <Ú#ts? öNä3ZÏiB 4 Ÿwur (#þqè=çFø)s? öNä3|¡àÿRr& 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. öNä3Î/ $VJŠÏmu ÇËÒÈ  


Artinya
“hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakai harta sesamamu dengan jalan yang batal, kecuali dengan jalan perniagaan yang dilakukan suka ama suka.” (QS. An-Nisa’ : 29)
Ijarah dapat dikategorikan jual-beli seebab mengandung unsure pertukaran harta. Syarat ini berkaitan dengan ‘qid.
b.      Ma’qud ‘alaih bermanfaat dengan jelas
Adanya kejelasan pada ma;qudalaih (barang) menghilangkan diantara ‘aqid. Diantara cara untuk mengetahui ma’qud ‘alaih (barang) adalah dengan menjelaskan manfaatnya, pembatasan waktu, atau menjelaskan jenis pekerjaan jika ijarah atas pekerjaan atau jasa seseorang. (Syafi’I, 2001: 55)
1.      Penjelasan manfaat
Penjelasan di lakukan agar benda yang di sewakan bener-benar jelas. Tidak sah mengatakan, “saya sewakan sala satu dari rumah ini.”
2.      Penjelasan waktu
Jumhur ulama tidak memberikan batasan maksimal atau minimal. Jadi, dibolehan selamanya dengan syarat asalnya masih tetap ada sebab tidak ada dalil yang mengharuskan untuk membatasinya.
Ulama hanafiyah yidak mensyaratkan untuk penetapan waktu akad, sedangkan ulama syafi’iyah mensyaratkannya sebab bila tak dibatasi hal itu dapat menyababkan ketidaktahuan waktu yang wajib dipenuhi.
3.      Penjelasan jenis pekerjaan
4.      Penjelasan waktu kerja
c.       Ma’qud ‘Alaih (barang) harus dapat memenuhi secara syara’
d.      Kemanfaatan benda dibolehkan menurut syara’
e.       Tidak menyewa untuk pekerjaan yang diwajibkan kepadanya
f.       Tidak mengambil manfaat bagi diri orang yang disewa
g.      Manfaat ma’qud alaih seesuai dengan keadaan yang umum
4.      Syarat barang sewaan
Diantara syarat barang sewaan adalah dapat dipegang atau dikuasai. Hal ini didasarkan pada hadist Rasulullah yang melarang menjual barang yang tidak dapat dipegang atau dikuasai.

5.      Syarat Ujrah (upah)
Para ulama telah menetapkan syarat upah, yaitu :
1.      Berupa harta tetap yang dapat diketahui
2.      Tidak boleh sejenis dengan barang manfaat dari ijarah

6.      Syarat yang kembali pada rukun akad
Akad disyaratkan harus terhindar dari syarat yang tidak diperlukan dalam akad atau syarat yang merusak akad

7.      Syarat kelaziman
Syarat kelaziman ijarah terdiri atas dua hal yaitu :
a.       Barang sewaan terhindar dari cacat
b.      Tidak ada udzur yang dapat membatalkan akad

C.   Sifat dan Hukum Ijarah
1.      Sifat ijarah
Menurut ulama Hanafiyah, ijarah adalah akad lazim yang boleh dibatalkan. Sedangkan jumhur ulama berpendapat bahwa ijarah adalah akad lazim yang tidak dapat dibatalkan, kecuali dengan adanya sesuatu yang merusak pemenuhannya.
2.      Hukum ijarah
Hukum ijarah shohih adalah tetapnya kemanfaatan bagi penyewa, dan tetapnya upah bagi pekerja atau orang yang menyewakan ma’qud ‘alaih. Adapun hukum ijarah rusak menurut ulama hanafiyah, jika penyewa telah mendapatkan manfaat tetapi orang yang menyewakan atau yang bekerja dibayar lebih kecil dari kesepakatan pada waktu akad. (Adiwarman, 2007: 237)
D.   Pembagian dan Hukum Ijarah
Ijarah terbagi dua yaitu ijarah terhadap benda atau sewa menyewa, dan ijarah atas pekerjaan atau upah mengupah.
1.      Hukum sewa-menyewa
Dibolehkan ijarrah atas barang mubah seperti rumah, kamar, dan lain-lain. Tetapi dilarang ijarah terhadap benda-benda yang diharamkan.

2.      Hukum upah-mengupah
Upah-mengupah yakni jual-beli jasa. Upah mengupah terbagi menjadi dua yaitu :
a.       Ijarah khusus
Yaitu ijarah yang dilakukan oleh seorang pekerja. Hukumnya, orang yang bekerja tidak boleh bekerja selain dengan orang yang telah memberinya upah
b.      Ijarah musytarik
Yaitu ijarah dilakukan secara bersama-sama, hukumnya dibolehkan bekerja sama dengan orang lain.

E.   Tanggung jawab yang disewa (ajir) dan gugurnya upah
1.      Tanggung jawab yang disewa (ajir)
a.       Ajir khusus
Adalah orang yang bekeraja sendiri dan menerima upah sendiri, seperti pembantu rumah tangga.
b.      Ajir musytarik
Ajir musytarik seperti para pekerja dipabrik


2.      Gugurnya upah
Menurut ulama Syafi’iyah, jika ajir bekerja ditempat yang memiliki oleh penyewa, ia tetap memperoleh upah. Sebaliknya apabila barang berada di tangannya, ia tidak mendapatkan upah.

F.    Akhir Ijarah
1.      Menurut ulama Hanafiyah, ijarah di pandang habis dengan meninggalnya salah seorang yang akad, sedangkan ahli waris tidak memiliki hak untuk meneruskannya.
2.      Pembatalan akad
3.      Terjadi kerusakan pada barang yang di sewa
4.      Habis waktu, kecuali kalau ada uzur.


Kesimpulan

Pada dasarnya, ijarah di defnisikan sebagai hak untuk memenfatkan barang/jasa dengan membayar imbalan tertentu. ada yang menerjemahkan, ijarah seagai jual beli jasa (upah mengupah), yakni mengambil manfaat tenaga manusia, ada pula yang menerjemahkan sewa-menyewa, yakni mengambil manfaat dari barang.
Transaksi ijarah di landasi adanya pemindahan manfaat (hak guna), bukan pemindahan kepemilikan (hak milik). Jadi pada dasarnya prinsip ijara sama saja prinsip jual beli,tapi perbedaannya terletak pada objek transaksinya. Bila pada jual beli objek transaksinya barang,pada jarah objek transaksinya barang maupun jasa.




DAFTAR PUSTAKA

Antonio, Muhammad Syafi’i. 2001. Bank Syari’ah dari teori ke praktik. Jakarta: Gema Insani
Haroen, Nasrun. 2007. Fiqih Muamalah. Jakarta: Gaya Media Pratama
Karim, Adiwarman A. 2004. Bank Syari’ah Analisis Fiqih dan Keuangan. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada
Rasjid, Sulaiman. 1981. Fiqih Islam. Jakarta: ATTARIYAH
Syafei, Rachmat. 2000. Fiqih Muamalah. Bandung: Pustaka Setia

0 komentar:

Posting Komentar

Pages

Total Tayangan Halaman

Powered By Blogger
Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini