PERBANKAN SYARIAH DAN KONVENSIONAL

Written by aren giff 7 komentar Posted in:

Bank Indonesia (BI)
Bank Indonesia (BI, dulu disebut De Javasche Bank) adalah bank sentral Republik Indonesia. Sebagai bank sentral, BI mempunyai satu tujuan tunggal, yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Kestabilan nilai rupiah ini mengandung dua aspek, yaitu kestabilan nilai mata uang terhadap barang dan jasa, serta kestabilan terhadap mata uang negara lain.
Untuk mencapai tujuan tersebut BI didukung oleh tiga pilar yang merupakan tiga bidang tugasnya. Ketiga bidang tugas ini adalah menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, serta mengatur dan mengawasi perbankan di Indonesia. Ketiganya perlu diintegrasi agar tujuan mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah dapat dicapai secara efektif dan efisien.
BI juga menjadi satu-satunya lembaga yang memiliki hak untuk mengedarkan uang di Indonesia. Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya BI dipimpin oleh Dewan Gubernur. Untuk periode 2008-2013, Darmin Nasution menjabat posisi sebagai Gubernur BI menggantikan Boediono yang menjadi Wakil Presiden.
 Sejarah Bank Indonesia (BI)
Pada 1828 De Javasche Bank didirikan oleh Pemerintah Hindia Belanda sebagai bank sirkulasi yang bertugas mencetak dan mengedarkan uang.
Tahun 1953, Undang-Undang Pokok Bank Indonesia menetapkan pendirian Bank Indonesia untuk menggantikan fungsi De Javasche Bank sebagai bank sentral, dengan tiga tugas utama di bidang moneter, perbankan, dan sistem pembayaran. Di samping itu, Bank Indonesia diberi tugas penting lain dalam hubungannya dengan Pemerintah dan melanjutkan fungsi bank komersial yang dilakukan oleh DJB sebelumnya.
Pada tahun 1968 diterbitkan Undang-Undang Bank Sentral yang mengatur kedudukan dan tugas Bank Indonesia sebagai bank sentral, terpisah dari bank-bank lain yang melakukan fungsi komersial. Selain tiga tugas pokok bank sentral, Bank Indonesia juga bertugas membantu Pemerintah sebagai agen pembangunan mendorong kelancaran produksi dan pembangunan serta memperluas kesempatan kerja guna meningkatkan taraf hidup rakyat.
Tahun 1999 merupakan Babak baru dalam sejarah Bank Indonesia, sesuai dengan UU No.23/1999 yang menetapkan tujuan tunggal Bank Indonesia yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah.
Pada tahun 2004, Undang-Undang Bank Indonesia diamandemen dengan fokus pada aspek penting yang terkait dengan pelaksanaan tugas dan wewenang Bank Indonesia, termasuk penguatan governance. Pada tahun 2008, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.2 tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No.23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagai bagian dari upaya menjaga stabilitas sistem keuangan. Amandemen dimaksudkan untuk meningkatkan ketahanan perbankan nasional dalam menghadapi krisis global melalui peningkatan akses perbankan terhadap Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek dari Bank Indonesia.
 Status dan Kedudukan Bank Indonesia
 Sebagai Lembaga Negara yang Independen
Babak baru dalam sejarah Bank Indonesia sebagai Bank Sentral yang independen dimulai ketika sebuah undang-undang baru, yaitu UU No. 23/1999 tentang Bank Indonesia, dinyatakan berlaku pada tanggal 17 Mei 1999. Undang-undang ini memberikan status dan kedudukan sebagai suatu lembaga negara independen dan bebas dari campur tangan pemerintah ataupun pihak lainnya. Sebagai suatu lembaga negara yang independen, Bank Indonesia mempunyai otonomi penuh dalam merumuskan dan melaksanakan setiap tugas dan wewenangnya sebagaimana ditentukan dalam undang-undang tersebut. Pihak luar tidak dibenarkan mencampuri pelaksanaan tugas Bank Indonesia, dan Bank Indonesia juga berkewajiban untuk menolak atau mengabaikan intervensi dalam bentuk apapun dari pihak manapun juga. Untuk lebih menjamin independensi tersebut, undang-undang ini telah memberikan kedudukan khusus kepada Bank Indonesia dalam struktur ketatanegaraan Republik Indonesia. Sebagai Lembaga negara yang independen kedudukan Bank Indonesia tidak sejajar dengan Lembaga Tinggi Negara. Disamping itu, kedudukan Bank Indonesia juga tidak sama dengan Departemen, karena kedudukan Bank Indonesia berada diluar Pemerintah. Status dan kedudukan yang khusus tersebut diperlukan agar Bank Indonesia dapat melaksanakan peran dan fungsinya sebagai otoritas moneter secara lebih efektif dan efisien.
 Sebagai Badan Hukum
Status Bank Indonesia baik sebagai badan hukum publik maupun badan hukum perdata ditetapkan dengan undang-undang. Sebagai badan hukum publik Bank Indonesia berwenang menetapkan peraturan-peraturan hukum yang merupakan pelaksanaan dari undang-undang yang mengikat seluruh masyarakat luas sesuai dengan tugas dan wewenangnya. Sebagai badan hukum perdata, Bank Indonesia dapat bertindak untuk dan atas nama sendiri di dalam maupun di luar pengadilan.
 Tujuan dan Tugas Bank Indonesia
Dalam kapasitasnya sebagai bank sentral, Bank Indonesia mempunyai satu tujuan tunggal, yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Kestabilan nilai rupiah ini mengandung dua aspek, yaitu kestabilan nilai mata uang terhadap barang dan jasa, serta kestabilan terhadap mata uang negara lain. Aspek pertama tercermin pada perkembangan laju inflasi, sementara aspek kedua tercermin pada perkembangan nilai tukar rupiah terhadap mata uang negara lain. Perumusan tujuan tunggal ini dimaksudkan untuk memperjelas sasaran yang harus dicapai Bank Indonesia serta batas-batas tanggung jawabnya. Dengan demikian, tercapai atau tidaknya tujuan Bank Indonesia ini kelak akan dapat diukur dengan mudah.
 Tiga Pilar Utama
Untuk mencapai tujuan tersebut Bank Indonesia didukung oleh tiga pilar yang merupakan tiga bidang tugasnya. Ketiga bidang tugas ini adalah menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, serta mengatur dan mengawasi perbankan di Indonesia. Ketiganya perlu diintegrasi agar tujuan mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah dapat dicapai secara efektif dan efisien.
 Pengaturan dan Pengawasan Bank
Dalam rangka tugas mengatur dan mengawasi perbankan, Bank Indonesia menetapkan peraturan, memberikan dan mencabut izin atas kelembagaan atau kegiatan usaha tertentu dari bank, melaksanakan pengawasan atas bank, dan mengenakan sanksi terhadap bank sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam pelaksanaan tugas ini, Bank Indonesia berwenang menetapkan ketentuan-ketentuan perbankan dengan menjunjung tinggi prinsip kehati-hatian.
Berkaitan dengan kewenangan di bidang perizinan, selain memberikan dan mencabut izin usaha bank, Bank Indonesia juga dapat memberikan izin pembukaan, penutupan dan pemindahan kantor bank, memberikan persetujuan atas kepemilikan dan kepengurusan bank, serta memberikan izin kepada bank untuk menjalankan kegiatan-kegiatan usaha tertentu.
Di bidang pengawasan, Bank Indonesia melakukan pengawasan langsung maupun tidak langsung. Pengawasan langsung dilakukan baik dalam bentuk pemeriksaan secara berkala maupun sewaktu-waktu bila diperlukan. Pengawasan tidak langsung dilakukan melalui penelitian, analisis dan evaluasi terhadap laporan yang disampaikan oleh bank.
 Upaya Restrukturisasi Perbankan
Sebagai upaya membangun kembali kepercayaan masyarakat terhadap sistem keuangan dan perekonomian Indonesia, Bank Indonesia telah menempuh langkah restrukturisasi perbankan yang komprehensif. Langkah ini mutlak diperlukan guna memfungsikan kembali perbankan sebagai lembaga perantara yang akan mendorong pertumbuhan ekonomi, disamping sekaligus meningkatkan efektivitas pelaksanaan kebijakan moneter.
Restrukturisasi perbankan tersebut dilakukan melalui upaya memulihkan kepercayaan masyarakat, program rekapitalisasi, program restrukturisasi kredit, penyempurnaan ketentuan perbankan, dan peningkatan fungsi pengawasan bank.

 Sistem Pembayaran
Menjaga stabilitas nilai tukar rupiah adalah tujuan Bank Indonesia sebagaimana diamanatkan Undang-Undang No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Untuk menjaga stabilitas rupiah itu perlu disokong pengaturan dan pengelolaan akan kelancaran Sistem Pembayaran Nasional (SPN). Kelancaran SPN ini juga perlu didukung oleh infrastruktur yang handal (robust). Jadi, semakin lancar dan hadal SPN, maka akan semakin lancar pula transmisi kebijakan moneter yang bersifat time critical. Bila kebijakan moneter berjalan lancar maka muaranya adalah stabilitas nilai tukar.
BI adalah lembaga yang mengatur dan menjaga kelancaran SPN. Sebagai otoritas moneter, bank sentral berhak menetapkan dan memberlakukan kebijakan SPN. Selain itu, BI juga memiliki kewenangan memeberikan persetujuan dan perizinan serta melakukan pengawasan (oversight) atas SPN. Menyadari kelancaran SPN yang bersifat penting secara sistem (systemically important), bank sentral memandang perlu menyelenggarakan sistem settlement antar bank melalui infrastruktur BI-Real Time Gross Settlement (BI-RTGS).
Selain itu masih ada tugas BI dalam SPN, misalnya, peran sebagai penyelenggara sistem kliring antarbank untuk jenis alat-alat pembayaran tertentu. Bank sentral juga adalah satu-satunya lembaga yang berhak mengeluarkan dan mengedarkan alat pembayaran tunai seperti uang rupiah. BI juga berhak mencabut, menarik hingga memusnahkan uang rupiah yang sudah tak berlaku dari peredaran.
Berbekal kewenangan itu, BI pun menetapkan sejumlah kebijakan dari komponen SPN ini. Misalnya, alat pembayaran apa yang boleh dipergunakan di Indonesia. BI juga menentukan standar alat-alat pembayaran tadi serta pihak-pihak yang dapat menerbitkan dan/atau memproses alat-alat pembayaran tersebut. BI juga berhak menetapkan lembaga-lembaga yang dapat menyelenggarakan sistem pembayaran. Ambil contoh, sistem kliring atau transfer dana, baik suatu sistem utuh atau hanya bagian dari sistem saja. Bank sentral juga memiliki kewenangan menunjuk lembaga yang bisa menyelenggarakan sistem settlement. Pada akhirnya BI juga mesti menetapkan kebijakan terkait pengendalian risiko, efisiensi serta tata kelola (governance) SPN.
Di sisi alat pembayaran tunai, Bank Indonesia merupakan satu-satunya lembaga yang berwenang untuk mengeluarkan dan mengedarkan uang Rupiah serta mencabut, menarik dan memusnahkan uang dari peredaran. Terkait dengan peran BI dalam mengeluarkan dan mengedarkan uang, Bank Indonesia senantiasa berupaya untuk dapat memenuhi kebutuhan uang kartal di masyarakat baik dalam nominal yang cukup, jenis pecahan yang sesuai, tepat waktu, dan dalam kondisi yang layak edar (clean money policy). Untuk mewujudkan clean money policy tersebut, pengelolaan pengedaran uang yang dilakukan oleh Bank Indonesia dilakukan mulai dari pengeluaran uang, pengedaran uang, pencabutan dan penarikan uang sampai dengan pemusnahan uang.
Sebelum melakukan pengeluaran uang Rupiah, terlebih dahulu dilakukan perencanaan agar uang yang dikeluarkan memiliki kualitas yang baik sehingga kepercayaan masyarakat tetap terjaga. Perencanaan yang dilakukan Bank Indonesia meliputi perencanaan pengeluaran emisi baru dengan mempertimbangkan tingkat pemalsuan, nilai intrinsik serta masa edar uang. Selain itu dilakukan pula perencanaan terhadap jumlah serta komposisi pecahan uang yang akan dicetak selama satu tahun kedepan. Berdasarkan perencanaan tersebut kemudian dilakukan pengadaan uang baik untuk pengeluaran uang emisi baru maupun pencetakan rutin terhadap uang emisi lama yang telah dikeluarkan.
Uang Rupiah yang telah dikeluarkan tadi kemudian didistribusikan atau diedarkan di seluruh wilayah melalui Kantor Bank Indonesia. Kebutuhan uang Rupiah di setiap kantor Bank Indonesia didasarkan pada jumlah persediaan, keperluan pembayaran, penukaran dan penggantian uang selama jangka waktu tertentu. Kegitan distribusi dilakukan melalui sarana angkutan darat, laut dan udara. Untuk menjamin keamanan jalur distribusi senantiasa dilakukan baik melalui pengawalan yang memadai maupun dengan peningkatan sarana sistem monitoring.
Kegiatan pengedaran uang juga dilakukan melalui pelayanan kas kepada bank umum maupun masyarakat umum. Layanan kas kepada bank umum dilakukan melalui penerimaan setoran dan pembayaran uang Rupiah. Sedangkan kepada masyarakat dilakukan melalui penukaran secara langsung melalui loket-loket penukaran di seluruh kantor Bank Indonesia atau melalui kerjasama dengan perusahaan yang menyediakan jasa penukaran uang kecil.
Lebih lanjut, kegiatan pengelolaan uang Rupiah yang dilakukan Bank Indonesia adalah pencabutan uang terhadap suatu pecahan dengan tahun emisi tertentu yang tidak lagi berlaku sebagai alat pembayaran yang sah. Pencabutan uang dari peredaran dimaksudkan untuk mencegah dan meminimalisasi peredaran uang palsu serta menyederhanakan komposisi dan emisi pecahan. Uang Rupiah yang dicabut tersebut dapat ditarik dengan cara menukarkan ke Bank Indonesia atau pihak lain yang telah ditunjuk oleh Bank Indonesia.
Sementara itu untuk menjaga menjaga kualitas uang Rupiah dalam kondisi yang layak edar di masyarakat, Bank Indonesia melakukan kegiatan pemusnahan uang. Uang yang dimusnahkan tersebut adalah uang yang sudah dicabut dan ditarik dari peredaran, uang hasil cetak kurang sempurna dan uang yang sudah tidak layak edar. Kegiatan pemusnahan uang diatur melalui prosedur dan dilaksanakan oleh jasa pihak ketiga yang dengan pengawasan oleh tim Bank Indonesia (BI).
 Para Gubernur Bank Indonesia
Sejak dibentuk, orang-orang yang terpilih sebagai Gubernur BI, sebagai berikut:
• 2010-sekarang Darmin Nasution
• 2009-2010 Darmin Nasution (Pelaksana tugas)
• 2009 Miranda Gultom (Pelaksana tugas)
• 2008-2009 Boediono
• 2003-2008 Burhanuddin Abdullah
• 1998-2003 Syahril Sabirin
• 1993-1998 Sudrajad Djiwandono
• 1988-1993 Adrianus Mooy
• 1983-1988 Arifin Siregar
• 1973-1983 Rachmat Saleh
• 1966-1973 Radius Prawiro
• 1963-1966 T. Jusuf Muda Dalam
• 1960-1963 Mr. Soemarno
• 1959-1960 Mr. Soetikno Slamet
• 1958-1959 Mr. Loekman Hakim
• 1953-1958 Mr. Sjafruddin Prawiranegara

Babak baru dalam sejarah Bank Indonesia sebagai Bank Sentral yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya. dimulai ketika sebuah undang-undang baru, yaitu UU No. 23/1999 tentang Bank Indonesia, dinyatakan berlaku pada tanggal 17 Mei 1999 dan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia No. 6/ 2009. Undang-undang ini memberikan status dan kedudukan sebagai suatu lembaga negara yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan Pemerintah dan/atau pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam undang-undang ini.
Bank Indonesia mempunyai otonomi penuh dalam merumuskan dan melaksanakan setiap tugas dan wewenangnya sebagaimana ditentukan dalam undang-undang tersebut. Pihak luar tidak dibenarkan mencampuri pelaksanaan tugas Bank Indonesia, dan Bank Indonesia juga berkewajiban untuk menolak atau mengabaikan intervensi dalam bentuk apapun dari pihak manapun juga.
 Tujuan Kebijakan Moneter Bank Indonesia
Bank Indonesia memiliki tujuan untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Tujuan ini sebagaimana tercantum dalam UU No. 3 tahun 2004 pasal 7 tentang Bank Indonesia.
Hal yang dimaksud dengan kestabilan nilai rupiah antara lain adalah kestabilan terhadap harga-harga barang dan jasa yang tercermin pada inflasi. Untuk mencapai tujuan tersebut, sejak tahun 2005 Bank Indonesia menerapkan kerangka kebijakan moneter dengan inflasi sebagai sasaran utama kebijakan moneter (Inflation Targeting Framework) dengan menganut sistem nilai tukar yang mengambang (free floating). Peran kestabilan nilai tukar sangat penting dalam mencapai stabilitas harga dan sistem keuangan. Oleh karenanya, Bank Indonesia juga menjalankan kebijakan nilai tukar untuk mengurangi volatilitas nilai tukar yang berlebihan, bukan untuk mengarahkan nilai tukar pada level tertentu.
Dalam pelaksanaannya, Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk melakukan kebijakan moneter melalui penetapan sasaran-sasaran moneter (seperti uang beredar atau suku bunga) dengan tujuan utama menjaga sasaran laju inflasi yang ditetapkan oleh Pemerintah. Secara operasional, pengendalian sasaran-sasaran moneter tersebut menggunakan instrumen-instrumen, antara lain operasi pasar terbuka di pasar uang baik rupiah maupun valuta asing, penetapan tingkat diskonto, penetapan cadangan wajib minimum, dan pengaturan kredit atau pembiayaan. Bank Indonesia juga dapat melakukan cara-cara pengendalian moneter berdasarkan Prinsip Syariah.
 Kerangka Kebijakan Moneter di Indonesia
Dalam melaksanakan kebijakan moneter, Bank Indonesia menganut sebuah kerangka kerja yang dinamakan Inflation Targeting Framework (ITF). Kerangka kerja ini diterapkan secara formal sejak Juli 2005, setelah sebelumnya menggunakan kebijakan moneter yang menerapkan uang primer (base money) sebagai sasaran kebijakan moneter.
 Mengapa ITF?
Dengan telah dilepaskannya sistem nilai tukar dengan band intervensi nilai tukar (crawling band) di tahun 1997, Bank Indonesia memerlukan jangkar nominal (nominal anchor) baru dalam rangka menjalankan kebijakan moneter. Jangkar nominal adalah variabel nominal (seperti indeks harga, nilai tukar, atau uang beredar) yang ditargetkan secara eksplisit oleh bank sentral sebagai dasar/patokan bagi pembentukan harga lainnya. Misalnya kalau nilai tukar dijadikan target, maka inflasi luar negeri akan menjadi inflasi domestik.
Mengapa kebijakan moneter memerlukan jangkar nominal? Karena tanpa adanya jangkar nominal, tidak ada kejelasan kemana kebijakan moneter akan diarahkan sehingga masyarakat tidak memiliki pedoman dalam membuat ekspektasi inflasi. Ibarat kapal yang mengapung di lautan tanpa kejelasan kearah mana kapal dilabuhkan. Sebaliknya, dengan adanya jangkar nominal masyarakat akan membuat ekspektasi inflasi yang diperlukan dalam kalkulasi usahanya sesuai dengan jangkar nominal tersebut. Dengan mengumumkan sasaran inflasi dan Bank Indonesia secara konsisten dapat mencapainya akan meningkatkan kredibilitas kebijaan moneter yang pada gilirannya ekspektasi inflasi masyarakat sesuai dengan sasaran yang ditetapkan BI.
Ada sejumlah alasan mengapa menggunakan jangkar nominal dengan ITF.
• ITF lebih mudah dipahami oleh masyarakat. Dengan sasaran inflasi secara eksplisit masyarakat akan memahami arah inflasi. Sebaliknya dengan sasaran base money, apalagi jika hubungannya dengan inflasi tidak jelas, masyarakat lebih sulit mengetahui arah inflasi kedepan.
• ITF yang memfokuskan pada inflasi sebagai prioritas kebijakan moneter sesuai dengan mandat yang diberikan kepada Bank Indonesia.
• ITF bersifat forward looking sesuai dengan dampak kebijakan pada inflasi yang memerlukan time lag.
• ITF meningkatkan trasparansi dan akuntabilitas kebijakan moneter mendorong kredibilitas kebijakan moneter. Aspek transparansi dan akuntabilitas serta kejelasan akan tujuan ini merupakan aspek-aspek good governance dari sebuah bank yang telah diberikan independensi.
• ITF tidak memerlukan asumsi kestabilan hubungan antara uang beredar, output dan inflasi. Sebaliknya, ITF merupakan pendekatan yang lebih komprehensif dengan mempertimbangkan sejumlah variabel informasi tentang kondisi perekonomian.
 Bagaimana ITF diterapkan?
Dalam kerangka ITF, Bank Indonesia mengumumkan sasaran inflasi ke depan pada periode tertentu. Setiap periode Bank Indonesia mengevaluasi apakah proyeksi inflasi ke depan masih sesuai dengan sasaran yang ditetapkan. Proyeksi ini dilakukan dengan sejumlah model dan sejumlah informasi yang dapat menggambarkan kondisi inflasi ke depan. Jika proyeksi inflasi sudah tidak kompatibel dengan sasaran, Bank Indonesia melakukan respon dengan menggunakan instrumen yang dimiliki. Misalnya jika proyeksi inflasi telah melampaui sasaran, maka Bank Indonesia akan cenderung melakukan pengetatan moneter.
Secara reguler, Bank Indonesia menjelaskan kepada publik mengenai asesmen terhadap kondisi inflasi dan outlook ke depan serta keputusan yang diambil. Jika sasaran inflasi tidak tercapai maka diperlukan penjelasan kepada publik dan langkah-langkah yang akan diambil untuk mengembalikan inflasi sesuai dengan sasarannya.
Dengan kerangka ini, Bank Indonesia secara eksplisit mengumumkan sasaran inflasi kepada publik dan kebijakan moneter diarahkan untuk mencapai sasaran inflasi yang ditetapkan oleh Pemerintah tersebut. Untuk mencapai sasaran inflasi, kebijakan moneter dilakukan secara forward looking, artinya perubahan stance kebijakan moneter dilakukan melaui evaluasi apakah perkembangan inflasi ke depan masih sesuai dengan sasaran inflasi yang telah dicanangkan. Dalam kerangka kerja ini, kebijakan moneter juga ditandai oleh transparansi dan akuntabilitas kebijakan kepada publik. Secara operasional, stance kebijakan moneter dicerminkan oleh penetapan suku bunga kebijakan (BI Rate) yang diharapkan akan memengaruhi suku bunga pasar uang dan suku bunga deposito dan suku bunga kredit perbankan. Perubahan suku bunga ini pada akhirnya akan memengaruhi output dan inflasi.
 Bagaimana Bekerjanya Kebijakan Moneter?
Tujuan akhir kebijakan moneter adalah menjaga dan memelihara kestabilan nilai rupiah yang salah satunya tercermin dari tingkat inflasi yang rendah dan stabil. Untuk mencapai tujuan itu Bank Indonesia menetapkan suku bunga kebijakan BI Rate sebagai instrumen kebijakan utama untuk mempengaruhi aktivitas kegiatan perekonomian dengan tujuan akhir pencapaian inflasi. Namun jalur atau transmisi dari keputusan BI rate sampai dengan pencapaian sasaran inflasi tersebut sangat kompleks dan memerlukan waktu (time lag).
Mekanisme bekerjanya perubahan BI Rate sampai mempengaruhi inflasi tersebut sering disebut sebagai mekanisme transmisi kebijakan moneter. Mekanisme ini menggambarkan tindakan Bank Indonesia melalui perubahan-perubahan instrumen moneter dan target operasionalnya mempengaruhi berbagai variable ekonomi dan keuangan sebelum akhirnya berpengaruh ke tujuan akhir inflasi. Mekanisme tersebut terjadi melalui interaksi antara Bank Sentral, perbankan dan sektor keuangan, serta sektor riil. Perubahan BI Rate mempengaruhi inflasi melalui berbagai jalur, diantaranya jalur suku bunga, jalur kredit, jalur nilai tukar, jalur harga aset, dan jalur ekspektasi.

Pada jalur suku bunga, perubahan BI Rate mempengaruhi suku bunga deposito dan suku bunga kredit perbankan. Apabila perekonomian sedang mengalami kelesuan, Bank Indonesia dapat menggunakan kebijakan moneter yang ekspansif melalui penurunan suku bunga untuk mendorong aktifitas ekonomi. Penurunan suku bunga BI Rate menurunkan suku bunga kredit sehingga permintaan akan kredit dari perusahaan dan rumah tangga akan meningkat. Penurunan suku bunga kredit juga akan menurunkan biaya modal perusahaan untuk melakukan investasi. Ini semua akan meningkatkan aktifitas konsumsi dan investasi sehingga aktifitas perekonomian semakin bergairah. Sebaliknya, apabila tekanan inflasi mengalami kenaikan, Bank Indonesia merespon dengan menaikkan suku bunga BI Rate untuk mengerem aktifitas perekonomian yang terlalu cepat sehingga mengurangi tekanan inflasi.
Perubahan suku bunga BI Rate juga dapat mempengaruhi nilai tukar. Mekanisme ini sering disebut jalur nilai tukar. Kenaikan BI Rate, sebagai contoh, akan mendorong kenaikan selisih antara suku bunga di Indonesia dengan suku bunga luar negeri. Dengan melebarnya selisih suku bunga tersebut mendorong investor asing untuk menanamkan modal ke dalam instrument-instrumen keuangan di Indonesia seperti SBI karena mereka akan mendapatkan tingkat pengembalian yang lebih tinggi. Aliran modal masuk asing ini pada gilirannya akan mendorong apresiasi nilai tukar Rupiah. Apresiasi Rupiah mengakibatkan harga barang impor lebih murah dan barang ekspor kita di luar negeri menjadi lebih mahal atau kurang kompetitif sehingga akan mendorong impor dan mengurangi ekspor. Turunnya net ekspor ini akan berdampak pada menurunnya pertumbuhan ekonomi dan kegiatan perekonomian.
Perubahan suku bunga BI Rate mempengaruhi perekonomian makro melalui perubahan harga aset. Kenaikan suku bunga akan menurunkan harga aset seperti saham dan obligasi sehingga mengurangi kekayaan individu dan perusahaan yang pada gilirannya mengurangi kemampuan mereka untuk melakukan kegiatan ekonomi seperti konsumsi dan investasi.
Dampak perubahan suku bunga kepada kegiatan ekonomi juga mempengaruhi ekspektasi publik akan inflasi (jalur ekspektasi). Penurunan suku bunga yang diperkirakan akan mendorong aktifitas ekonomi dan pada akhirnya inflasi mendorong pekerja untuk mengantisipasi kenaikan inflasi dengan meminta upah yang lebih tinggi. Upah ini pada akhirnya akan dibebankan oleh produsen kepada konsumen melalui kenaikan harga.
Mekanisme transmisi kebijakan moneter ini bekerja memerlukan waktu (time lag). Time lag masing-masing jalur bisa berbeda dengan yang lain. Jalur nilai tukar biasanya bekerja lebih cepat karena dampak perubahan suku bunga kepada nilai tukar bekerja sangat cepat. Kondisi sektor keuangan dan perbankan juga sangat berpengaruh pada kecepatan tarnsmisi kebijakan moneter. Apabila perbankan melihat risiko perekonomian cukup tinggi, respon perbankan terhadap penurunan suku bunga BI rate biasanya sangat lambat. Juga, apabila perbankan sedang melakukan konsolidasi untuk memperbaiki permodalan, penurunan suku bunga kredit dan meningkatnya permintaan kredit belum tentu direspon dengan menaikkan penyaluran kredit. Di sisi permintaan, penurunan suku bunga kredit perbankan juga belum tentu direspon oleh meningkatnya permintaan kredit dari masyarakat apabila prospek perekonomian sedang lesu. Kesimpulannya, kondisi sektor keuangan, perbankan, dan kondisi sektor riil sangat berperan dalam menentukan efektif atau tidaknya proses transmisi kebijakan moneter.
 Koordinasi Kebijakan Moneter dan Fiskal
Mengingat bahwa laju inflasi di Indonesia tidak hanya dipengaruhi oleh faktor permintaan (demand pull) namun juga faktor penawaran (cost push), maka agar pencapaian sasaran inflasi dapat dilakukan dengan efektif, kerjasaama dan koordinasi antara pemerintah dan BI melalui kebijakan makroekonomi yang terintegrasi sangatlah diperlukan. Sehubungan dengan hal tersebut, di tingkat pengambil kebijakan, Bank Indonesia dan Pemerintah secara rutin menggelar Rapat Koordinasi untuk membahas perkembangan ekonomi terkini. Di sisi lain, Bank Indonesia juga kerap diundang dalam Rapat Kabinet yang dipimpin oleh Presiden RI untuk memberikan pandangan terhadap perkembangan makroekonomi dan moneter terkait dengan pencapaian sasaran inflasi. Koordinasi kebijakan fiskal dan moneter juga dilakukan dalam penyusunan bersama Asumsi Makro di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dibahas bersama di DPR. Selain itu, Pemerintah juga berkoordinasi dengan Bank Indonesia dalam melakukan pengelolaan Utang Negara.
Di tataran teknis, koordinasi antara Pemerintah dan BI telah diwujudkan dengan membentuk Tim Koordinasi Penetapan Sasaran, Pemantauan dan Pengendalian Inflasi (TPI) di tingkat pusat sejak tahun 2005. Anggota TPI, terdiri dari Bank Indonesia dan departmen teknis terkait di Pemerintah seperti Departemen Keuangan, Kantor Menko Bidang Perekonomian, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Departemen Perdagangan, Departemen Pertanian, Departemen Perhubungan, dan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Menyadari pentingnya koordinasi tersebut, sejak tahun 2008 pembentukan TPI diperluas hingga ke level daerah. Ke depan, koordinasi antara Pemerintah dan BI diharapkan akan semakin efektif dengan dukungan forum TPI baik pusat maupun daerah sehingga dapat terwujud inflasi yang rendah dan stabil, yang bermuara pada pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan dan berkelanjutan.
 INSTITUSI PERBANKAN DI INDONESIA
Perbankan Indonesia dalam menjalankan fungsinya berasaskan prinsip kehati-hatian. Fungsi utama perbankan Indonesia adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat serta bertujuan untuk menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional, kearah peningkatan taraf hidup rakyat banyak.
Berdasarkan undang-undang, struktur perbankan di Indonesia, terdiri atas bank umum dan BPR. Perbedaan utama bank umum dan BPR adalah dalam hal kegiatan operasionalnya. BPR tidak dapat menciptakan uang giral, dan memiliki jangkauan dan kegiatan operasional yang terbatas. Selanjutnya, dalam kegiatan usahanya dianut dual bank system, yaitu bank umum dapat melaksanakan kegiatan usaha bank konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah. Sementara prinsip kegiatan BPR dibatasi pada hanya dapat melakukan kegiatan usaha bank konvensional atau berdasarkan prinsip syariah


 FINDEISI STABILITAS SISTEM KEUANGAN
Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) sebenarnya belum memiliki definisi baku yang telah diterima secara internasional. Oleh karena itu, muncul beberapa definisi mengenai SSK yang pada intinya mengatakan bahwa suatu sistem keuangan memasuki tahap tidak stabil pada saat sistem tersebut telah membahayakan dan menghambat kegiatan ekonomi. Di bawah ini dikutip beberapa definisi SSK yang diambil dari berbagai sumber:
” Sistem keuangan yang stabil mampu mengalokasikan sumber dana dan menyerap kejutan (shock) yang terjadi sehingga dapat mencegah gangguan terhadap kegiatan sektor riil dan sistem keuangan.”
” Sistem keuangan yang stabil adalah sistem keuangan yang kuat dan tahan terhadap berbagai gangguan ekonomi sehingga tetap mampu melakukan fungsi intermediasi, melaksanakan pembayaran dan menyebar risiko secara baik.”
” Stabilitas sistem keuangan adalah suatu kondisi dimana mekanisme ekonomi dalam penetapan harga, alokasi dana dan pengelolaan risiko berfungsi secara baik dan mendukung pertumbuhan ekonomi.”
Arti stabilitas sistem keuangan dapat dipahami dengan melakukan penelitian terhadap faktor-faktor yang dapat menyebabkan instabilitas di sektor keuangan. Ketidakstabilan sistem keuangan dapat dipicu oleh berbagai macam penyebab dan gejolak. Hal ini umumnya merupakan kombinasi antara kegagalan pasar, baik karena faktor struktural maupun perilaku. Kegagalan pasar itu sendiri dapat bersumber dari eksternal (internasional) dan internal (domestik). Risiko yang sering menyertai kegiatan dalam sistem keuangan antara lain risiko kredit, risiko likuiditas, risiko pasar dan risiko operasional.
Meningkatnya kecenderungan globalisasi sektor finansial yang didukung oleh perkembangan teknologi menyebabkan sistem keuangan menjadi semakin terintegrasi tanpa jeda waktu dan batas wilayah. Selain itu, inovasi produk keuangan semakin dinamis dan beragam dengan kompleksitas yang semakin tinggi. Berbagai perkembangan tersebut selain dapat mengakibatkan sumber-sumber pemicu ketidakstabilan sistem keuangan meningkat dan semakin beragam, juga dapat mengakibatkan semakin sulitnya mengatasi ketidakstabilan tersebut.
Identifikasi terhadap sumber ketidakstabilan sistem keuangan umumnya lebih bersifat forward looking (melihat kedepan). Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui potensi risiko yang akan timbul serta akan mempengaruhi kondisi sistem keuangan mendatang. Atas dasar hasil identifikasi tersebut selanjutnya dilakukan analisis sampai seberapa jauh risiko berpotensi menjadi semakin membahayakan, meluas dan bersifat sistemik sehingga mampu melumpuhkan perekonomian.



 SEKILAS PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA
Pengembangan sistem perbankan syariah di Indonesia dilakukan dalam kerangka dual-banking system atau sistem perbankan ganda dalam kerangka Arsitektur Perbankan Indonesia (API), untuk menghadirkan alternatif jasa perbankan yang semakin lengkap kepada masyarakat Indonesia. Secara bersama-sama, sistem perbankan syariah dan perbankan konvensional secara sinergis mendukung mobilisasi dana masyarakat secara lebih luas untuk meningkatkan kemampuan pembiayaan bagi sektor-sektor perekonomian nasional.
Karakteristik sistem perbankan syariah yang beroperasi berdasarkan prinsip bagi hasil memberikan alternatif sistem perbankan yang saling menguntungkan bagi masyarakat dan bank, serta menonjolkan aspek keadilan dalam bertransaksi, investasi yang beretika, mengedepankan nilai-nilai kebersamaan dan persaudaraan dalam berproduksi, dan menghindari kegiatan spekulatif dalam bertransaksi keuangan. Dengan menyediakan beragam produk serta layanan jasa perbankan yang beragam dengan skema keuangan yang lebih bervariatif, perbankan syariah menjadi alternatif sistem perbankan yang kredibel dan dapat dinimati oleh seluruh golongan masyarakat Indonesia tanpa terkecuali.
Dalam konteks pengelolaan perekonomian makro, meluasnya penggunaan berbagai produk dan instrumen keuangan syariah akan dapat merekatkan hubungan antara sektor keuangan dengan sektor riil serta menciptakan harmonisasi di antara kedua sektor tersebut. Semakin meluasnya penggunaan produk dan instrumen syariah disamping akan mendukung kegiatan keuangan dan bisnis masyarakat juga akan mengurangi transaksi-transaksi yang bersifat spekulatif, sehingga mendukung stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan, yang pada gilirannya akan memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pencapaian kestabilan harga jangka menengah-panjang.
Dengan telah diberlakukannya Undang-Undang No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang terbit tanggal 16 Juli 2008, maka pengembangan industri perbankan syariah nasional semakin memiliki landasan hukum yang memadai dan akan mendorong pertumbuhannya secara lebih cepat lagi. Dengan progres perkembangannya yang impresif, yang mencapai rata-rata pertumbuhan aset lebih dari 65% pertahun dalam lima tahun terakhir, maka diharapkan peran industri perbankan syariah dalam mendukung perekonomian nasional akan semakin signifikan.
 Kebijakan Pengembangan Perbankan Syariah di Indonesia
Untuk memberikan pedoman bagi stakeholders perbankan syariah dan meletakkan posisi serta cara pandang Bank Indonesia dalam mengembangkan perbankan syariah di Indonesia, selanjutnya Bank Indonesia pada tahun 2002 telah menerbitkan “Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syariah di Indonesia”. Dalam penyusunannya, berbagai aspek telah dipertimbangkan secara komprehensif, antara lain kondisi aktual industri perbankan syariah nasional beserta perangkat-perangkat terkait, trend perkembangan industri perbankan syariah di dunia internasional dan perkembangan sistem keuangan syariah nasional yang mulai mewujud, serta tak terlepas dari kerangka sistem keuangan yang bersifat lebih makro seperti Arsitektur Perbankan Indonesia (API) dan Arsitektur Sistem Keuangan Indonesia (ASKI) maupun international best practices yang dirumuskan lembaga-lembaga keuangan syariah internasional, seperti IFSB (Islamic Financial Services Board), AAOIFI dan IIFM.
Pengembangan perbankan syariah diarahkan untuk memberikan kemaslahatan terbesar bagi masyarakat dan berkontribusi secara optimal bagi perekonomian nasional. Oleh karena itu, maka arah pengembangan perbankan syariah nasional selalu mengacu kepada rencana-rencana strategis lainnya, seperti Arsitektur Perbankan Indonesia (API), Arsitektur Sistem Keuangan Indonesia (ASKI), serta Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN). Dengan demikian upaya pengembangan perbankan syariah merupakan bagian dan kegiatan yang mendukung pencapaian rencana strategis dalam skala yang lebih besar pada tingkat nasional.
“Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syariah di Indonesia” memuat visi, misi dan sasaran pengembangan perbankan syariah serta sekumpulan inisiatif strategis dengan prioritas yang jelas untuk menjawab tantangan utama dan mencapai sasaran dalam kurun waktu 10 tahun ke depan, yaitu pencapaian pangsa pasar perbankan syariah yang signifikan melalui pendalaman peran perbankan syariah dalam aktivitas keuangan nasional, regional dan internasional, dalam kondisi mulai terbentuknya integrasi dgn sektor keuangan syariah lainnya.
Dalam jangka pendek, perbankan syariah nasional lebih diarahkan pada pelayanan pasar domestik yang potensinya masih sangat besar. Dengan kata lain, perbankan Syariah nasional harus sanggup untuk menjadi pemain domestik akan tetapi memiliki kualitas layanan dan kinerja yang bertaraf internasional.
Pada akhirnya, sistem perbankan syariah yang ingin diwujudkan oleh Bank Indonesia adalah perbankan syariah yang modern, yang bersifat universal, terbuka bagi seluruh masyarakat Indonesia tanpa terkecuali. Sebuah sistem perbankan yang menghadirkan bentuk-bentuk aplikatif dari konsep ekonomi syariah yang dirumuskan secara bijaksana, dalam konteks kekinian permasalahan yang sedang dihadapi oleh bangsa Indonesia, dan dengan tetap memperhatikan kondisi sosio-kultural di dalam mana bangsa ini menuliskan perjalanan sejarahnya. Hanya dengan cara demikian, maka upaya pengembangan sistem perbankan syariah akan senantiasa dilihat dan diterima oleh segenap masyarakat Indonesia sebagai bagian dari solusi atas berbagai permasalahan negeri.
 Grand Strategy Pengembangan Pasar Perbankan Syariah
Sebagai langkah konkrit upaya pengembangan perbankan syariah di Indonesia, maka Bank Indonesia telah merumuskan sebuah Grand Strategi Pengembangan Pasar Perbankan Syariah, sebagai strategi komprehensif pengembangan pasar yg meliputi aspek-aspek strategis, yaitu: Penetapan visi 2010 sebagai industri perbankan syariah terkemuka di ASEAN, pembentukan citra baru perbankan syariah nasional yang bersifat inklusif dan universal, pemetaan pasar secara lebih akurat, pengembangan produk yang lebih beragam, peningkatan layanan, serta strategi komunikasi baru yang memposisikan perbankan syariah lebih dari sekedar bank.
Selanjutnya berbagai program konkrit telah dan akan dilakukan sebagai tahap implementasi dari grand strategy pengembangan pasar keuangan perbankan syariah, antara lain adalah sebagai berikut:
Pertama, menerapkan visi baru pengembangan perbankan syariah pada fase I tahun 2008 membangun pemahaman perbankan syariah sebagai Beyond Banking, dengan pencapaian target asset sebesar Rp.50 triliun dan pertumbuhan industri sebesar 40%, fase II tahun 2009 menjadikan perbankan syariah Indonesia sebagai perbankan syariah paling atraktif di ASEAN, dengan pencapaian target asset sebesar Rp.87 triliun dan pertumbuhan industri sebesar 75%. Fase III tahun 2010 menjadikan perbankan syariah Indonesia sebagai perbankan syariah terkemuka di ASEAN, dengan pencapaian target asset sebesar Rp.124 triliun dan pertumbuhan industri sebesar 81%.
Kedua, program pencitraan baru perbankan syariah yang meliputi aspek positioning, differentiation, dan branding. Positioning baru bank syariah sebagai perbankan yang saling menguntungkan kedua belah pihak, aspek diferensiasi dengan keunggulan kompetitif dengan produk dan skema yang beragam, transparans, kompeten dalam keuangan dan beretika, teknologi informasi yang selalu up-date dan user friendly, serta adanya ahli investasi keuangan syariah yang memadai. Sedangkan pada aspek branding adalah “bank syariah lebih dari sekedar bank atau beyond banking”.
Ketiga, program pemetaan baru secara lebih akurat terhadap potensi pasar perbankan syariah yang secara umum mengarahkan pelayanan jasa bank syariah sebagai layanan universal atau bank bagi semua lapisan masyarakat dan semua segmen sesuai dengan strategi masing-masing bank syariah.
Keempat, program pengembangan produk yang diarahkan kepada variasi produk yang beragam yang didukung oleh keunikan value yang ditawarkan (saling menguntungkan) dan dukungan jaringan kantor yang luas dan penggunaan standar nama produk yang mudah dipahami.
Kelima, program peningkatan kualitas layanan yang didukung oleh SDM yang kompeten dan penyediaan teknologi informasi yang mampu memenuhi kebutuhan dan kepuasan nasabah serta mampu mengkomunikasikan produk dan jasa bank syariah kepada nasabah secara benar dan jelas, dengan tetap memenuhi prinsip syariah; dan
Keenam, program sosialisasi dan edukasi masyarakat secara lebih luas dan efisien melalui berbagai sarana komunikasi langsung, maupun tidak langsung (media cetak, elektronik, online/web-site), yang bertujuan untuk memberikan pemahaman tentang kemanfaatan produk serta jasa perbankan syariah yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat.

 ARSITEKTUR PERBANKAN INDONESIA
Arsitektur Perbankan Indonesia (API) merupakan suatu kerangka dasar sistem perbankan Indonesia yang bersifat menyeluruh dan memberikan arah, bentuk, dan tatanan industri perbankan untuk rentang waktu lima sampai sepuluh tahun ke depan. Arah kebijakan pengembangan industri perbankan di masa datang yang dirumuskan dalam API dilandasi oleh visi mencapai suatu sistem perbankan yang sehat, kuat dan efisien guna menciptakan kestabilan sistem keuangan dalam rangka membantu mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
Berpijak dari adanya kebutuhan blue print perbankan nasional dan sebagai kelanjutan dari program restrukturisasi perbankan yang sudah berjalan sejak tahun 1998, maka Bank Indonesia pada tanggal 9 Januari 2004 telah meluncurkan API sebagai suatu kerangka menyeluruh arah kebijakan pengembangan industri perbankan Indonesia ke depan. Peluncuran API tersebut tidak terlepas pula dari upaya Pemerintah dan Bank Indonesia untuk membangun kembali perekonomian Indonesia melalui penerbitan buku putih Pemerintah sesuai dengan Inpres No. 5 Tahun 2003, dimana API menjadi salah satu program utama dalam buku putih tersebut.
Bertitik tolak dari keinginan untuk memiliki fundamental perbankan yang lebih kuat dan dengan memperhatikan masukan-masukan yang diperoleh dalam mengimplementasikan API selama dua tahun terakhir, maka Bank Indonesia merasa perlu untuk menyempurnakan program-program kegiatan yang tercantum dalam API. Penyempurnaan program-program kegiatan API tersebut tidak terlepas pula dari perkembangan-perkembangan yang terjadi pada perekonomian nasional maupun internasional. Penyempurnaan terhadap program-program API tersebut antara lain mencakup strategi-strategi yang lebih spesifik mengenai pengembangan perbankan syariah, BPR, dan UMKM ke depan sehingga API diharapkan memiliki program kegiatan yang lebih lengkap dan komprehensif yang mencakup sistem perbankan secara menyeluruh terkait Bank umum dan BPR, baik konvensional maupun syariah, serta pengembangan UMKM.

 SISTEM PEMBAYARAN DI INDONESIA
:: Apa Itu Sistem Pembayaran (SP)?
Apa itu SP? SP adalah sistem yang mencakup seperangkat aturan, lembaga, dan mekanisme yang dipakai untuk melaksanakan pemindahan dana guna memenuhi suatu kewajiban yang timbul dari suatu kegiatan ekonomi. Lantas, apa saja komponen dari SP? Sudah barang tentu harus ada alat pembayaran, ada mekanisme kliring hingga penyelesaian akhir (settlement). Nah, selain itu juga ada komponen lain seperti lembaga yang terlibat dalam menyelenggarakan sistem pembayaran. Termasuk dalam hal ini adalah bank, lembaga keuangan selain bank, lembaga bukan bank penyelenggara transfer dana, perusahaan switching bahkan hingga bank sentral (lihat Perkembangan).
:: Evolusi Alat Pembayaran
Alat pembayaran boleh dibilang berkembang sangat pesat dan maju. Kalau kita menengok kebelakang yakni awal mula alat pembayaran itu dikenal, sistem barter antarbarang yang diperjualbelikan adalah kelaziman di era pra moderen. Dalam perkembangannya, mulai dikenal satuan tertentu yang memiliki nilai pembayaran yang lebih dikenal dengan uang. Hingga saat ini uang masih menjadi salah satu alat pembayaran utama yang berlaku di masyarakat. Selanjutnya alat pembayaran terus berkembang dari alat pembayaran tunai (cash based) ke alat pembayaran nontunai (non cash) seperti alat pembayaran berbasis kertas (paper based), misalnya, cek dan bilyet giro. Selain itu dikenal juga alat pembayaran paperless seperti transfer dana elektronik dan alat pembayaran memakai kartu (card-based) (ATM, Kartu Kredit, Kartu Debit dan Kartu Prabayar).
:: Alat Pembayaran Tunai
Alat pembayaran tunai lebih banyak memakai uang kartal (uang kertas dan logam). Uang kartal masih memainkan peran penting khususnya untuk transaksi bernilai kecil. Dalam masyarakat moderen seperti sekarang ini, pemakaian alat pembayaran tunai seperti uang kartal memang cenderung lebih kecil dibanding uang giral. Pada tahun 2005, perbandingan uang kartal terhadap jumlah uang beredar sebesar 43,3 persen.
Namun patut diketahui bahwa pemakaian uang kartal memiliki kendala dalam hal efisiensi. Hal itu bisa terjadi karena biaya pengadaan dan pengelolaan (cash handling) terbilang mahal. Hal itu belum lagi memperhitungkan inefisiensi dalam waktu pembayaran. Misalnya, ketika Anda menunggu melakukan pembayaran di loket pembayaran yang relatif memakan waktu cukup lama karena antrian yang panjang. Sementara itu, bila melakukan transaksi dalam jumlah besar juga mengundang risiko seperti pencurian, perampokan dan pemalsuan uang.
Menyadari ketidak-nyamanan dan inefisien memakai uang kartal, BI berinisiatif dan akan terus mendorong untuk membangun masyarakat yang terbiasa memakai alat pembayaran nontunai atau Less Cash Society (LCS).
:: Alat Pembayaran Nontunai
Alat pembayaran nontunai sudah berkembang dan semakin lazim dipakai masyarakat. Kenyataan ini memperlihatkan kepada kita bahwa jasa pembayaran nontunai yang dilakukan bank maupun lembaga selain bank (LSB), baik dalam proses pengiriman dana, penyelenggara kliring maupun sistem penyelesaian akhir (settlement) sudah tersedia dan dapat berlangsung di Indonesia. Transaksi pembayaran nontunai dengan nilai besar diselenggarakan Bank Indonesia melalui sistem BI-RTGS (Real Time Gross Settlement) dan Sistem Kliring. Sebagai informasi, sistem BI-RTGS adalah muara seluruh penyelesaian transaksi keuangan di Indonesia.
Bisa dibayangkan, hampir 95 persen transaksi keuangan nasional bernilai besar dan bersifat mendesak (urgent) seperti transaksi di Pasar Uang AntarBank (PUAB), transaksi di bursa saham, transaksi pemerintah, transaksi valuta asing (valas) serta settlement hasil kliring dilakukan melalui sistem BI-RTGS. Pada tahun 2010, BI-RTGS melakukan transaksi sedikitnya Rp174,3 triliun per hari. Sedangkan transaksi nontunai dengan alat pembayaran menggunakan kartu (APMK) dan uang elektronik masing-masing nilai transaksinya hanya Rp8,8 triliun per hari yang dilakukan bank atau LSB.
Melihat pentingnya peran BI-RTGS dalam sistem pembayaran nasional, sudah barang tentu harus dijaga kontinuitas dan stabilitasnya. Bila sesaat saja sistem BI-RTGS ini ngadat atau mengalami gangguan jelas akan sangat menganggu kelancaran dan stabilitas sistem keuangan di dalam negeri. Hal itu belum memperhitungkan dampak material dan nonmaterial dari macetnya sistem BI-RTGS tadi. Untuk itulah BI sangat peduli menjaga stabilitas BI-RTGS yang dikategorikan sebagai Systemically Important Payment System (SIPS). SIPS adalah sistem yang memproses transaksi pembayaran bernilai besar dan bersifat mendesak (urgent).Adalah wajar saja apabila Bank Indonesia sangat peduli menjaga kestabilan SIPS dengan mengelola risiko, desain, kehandalan teknologi, jaringan pendukung dan aturan main dalam SIPS. Selain SIPS dikenal pula System Wide Important Payment System (SWIPS), yaitu sistem yang digunakan oleh masyarakat luas. Sistem Kliring dan APMK termasuk dalam kategori SWIPS ini. BI juga peduli dengan SWIPS karena sifat sistem yang digunakan secara luas oleh masyarakat. Apabila terjadi gangguan maka kepentingan masyarakat untuk melakukan pembayaran akan terganggu pula, termasuk kepercayaan terhadap sistem dan alat-alat pembayaran yang diproses dalam sistem.
Perlu diketahui bahwa BI bukan semata peduli akan terciptanya efisiensi dalam sistem pembayaran, tapi juga kesetaraan akses hingga ke urusan perlindungan konsumen. Yang dimaksud terciptanya sistem pembayaran, itu artinya memberi kemudahan bagi pengguna untuk memilih metode pembayaran yang dapat diakses ke seluruh wilayah dengan biaya serendah mungkin. Sementara yang dimaksud dengan kesetaraan akses, BI akan memperhatikan penerapan asas kesetaraan dalam penyelenggaraan sistem pembayaran. Sedangkan aspek perlindungan konsumen dimaksudkan penyelenggara wajib mengadopsi asas-asas perlindungan konsumen secara wajar dalam penyelenggaraan sistemnya.
 SISTEM SETELMEN
Dalam rangka mitigasi risiko dalam pembayaran nasional, Bank Indonesia telah mengembangkan sistem setelmen (sistem penyelesaian transaksi) yaitu Bank Indonesia Real Time Gross Settlement (BI-RTGS), Bank Indonesia Scripless Securities Settlement System (BI-SSSS) dan Sistem Kliring Nasional (SKN). BI-RTGS merupakan sistem transfer dana elektronik antar Peserta dalam mata uang rupiah yang penyelesaiannya dilakukan secara seketika per transaksi secara individual. BI-SSSS merupakan sarana transaksi dengan Bank Indonesia termasuk penatausahaannya dan penatausahaan surat berharga secara elektronik. Dalam kegiatan setelmen, BI-SSSS terhubung langsung dengan BI-RTGS secara seamless. Sementara SKN merupakan sistem kliring antarbank untuk alat pembayaran cek, Bilyet Giro, nota debet lainnya dan transfer kredit antar bank.
 Bank Syari’ah
Perbankan syariah atau Perbankan Islam adalah suatu sistem perbankan yang dikembangkan berdasarkan syariah (hukum) islam. Usaha pembentukan sistem ini didasari oleh larangan dalam agama islam untuk memungut maupun meminjam dengan bunga atau yang disebut dengan riba serta larangan investasi untuk usaha-usaha yang dikategorikan haram (misal: usaha yang berkaitan dengan produksi makanan/minuman haram, usaha media yang tidak islami dll), dimana hal ini tidak dapat dijamin oleh sistem perbankan konvensional.
Tidak sedikit masyarakat umum dan bahkan kalangan intelektual terdidik, yang belum memahami konsep bank syariah. Penelitian yang dilakukan baru-baru ini oleh Bank Indonesia bekerjasama dengan IPB Bogor, UNDIP Semarang dan FE Universitas Brawijaya untuk kawasan Pulau jawa, menunjukkan bahwa ada 10,2% masyarakat yang menganggap bahwa bank syariah sama saja dengan bank konvensional. Mereka juga beranggapan bagi hasil dan margin keuntungan, sama saja dengan bunga.
Mereka mengklaim, bahwa bagi hasil hanyalah nama lain dari sistem bunga. Tegasnya, bagi hasil dan bunga sama saja. Pandangan ini juga masih terdapat di kalangan sebagian kecil ustazd yang belum memahami konsep dan operasional bagi hasil.

 Prinsip Perbankan Syari’ah
Prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang sesuai dengan syariah.
Beberapa prinsip/ hukum yang dianut oleh sistem perbankan syariah antara lain
• Pembayaran terhadap pinjaman dengan nilai yang berbeda dari nilai pinjaman dengan nilai ditentukan sebelumnya tidak diperbolehkan.
• Pemberi dana harus turut berbagi keuntungan dan kerugian sebagai akibat hasil usaha institusi yang meminjam dana.
• Islam tidak memperbolehkan "menghasilkan uang dari uang". Uang hanya merupakan media pertukaran dan bukan komoditas karena tidak memiliki nilai intrinsik.
• Unsur Gharar (ketidakpastian, spekulasi) tidak diperkenankan. Kedua belah pihak harus mengetahui dengan baik hasil yang akan mereka peroleh dari sebuah transaksi.
• Investasi hanya boleh diberikan pada usaha-usaha yang tidak diharamkan dalam islam. Usaha minuman keras misalnya tidak boleh didanai oleh perbankan syariah.
Prinsip perbankan syariah pada akhirnya akan membawa kemaslahatan bagi umat karena menjanjikan keseimbangan sistem ekonominya.

 Perbedaan yang mendasar antara bank syariah dengan bank konvensional, antara lain :
1. Perbedaan Falsafah
Perbedaan pokok antara bank konvensional dengan bank syariah terletak pada landasan falsafah yang dianutnya. Bank syariah tidak melaksanakan sistem bunga dalam seluruh aktivitasnya sedangkan bank kovensional justru kebalikannya. Hal inilah yang menjadi perbedaan yang sangat mendalam terhadap produk-produk yang dikembangkan oleh bank syariah, dimana untuk menghindari sistem bunga maka sistem yang dikembangkan adalah jual beli serta kemitraan yang dilaksanakan dalam bentuk bagi hasil. Dengan demikian sebenarnya semua jenis transaksi perniagaan melalui bank syariah diperbolehkan asalkan tidak mengandung unsur bunga (riba). Riba secara sederhana berarti sistem bunga berbunga atau compound interest dalam semua prosesnya bisa mengakibatkan membengkaknya kewajiban salah satu pihak seperti efek bola salju pada cerita di awal artikel ini. Sangat menguntungkan saya tapi berakibat fatal untuk banknya. Riba, sangat berpotensi untuk mengakibatkan keuntungan besar disuatu pihak namun kerugian besar dipihak lain, atau malah ke dua-duanya.
2. Konsep Pengelolaan Dana Nasabah
Dalam sistem bank syariah dana nasabah dikelola dalam bentuk titipan maupun investasi. Cara titipan dan investasi jelas berbeda dengan deposito pada bank konvensional dimana deposito merupakan upaya mem-bungakan uang. Konsep dana titipan berarti kapan saja si nasabah membutuhkan, maka bank syariah harus dapat memenuhinya, akibatnya dana titipan menjadi sangat likuid. Likuiditas yang tinggi inilah membuat dana titipan kurang memenuhi syarat suatu investasi yang membutuhkan pengendapan dana. Karena pengendapan dananya tidak lama alias cuma titipan maka bank boleh saja tidak memberikan imbal hasil. Sedangkan jika dana nasabah tersebut diinvestasikan, maka karena konsep investasi adalah usaha yang menanggung risiko, artinya setiap kesempatan untuk memperoleh keuntungan dari usaha yang dilaksanakan, didalamnya terdapat pula risiko untuk menerima kerugian, maka antara nasabah dan banknya sama-sama saling berbagi baik keuntungan maupun risiko.
Sesuai dengan fungsi bank sebagai intermediary yaitu lembaga keuangan penyalur dana nasabah penyimpan kepada nasabah peminjam, dana nasabah yang terkumpul dengan cara titipan atau investasi tadi kemudian, dimanfaatkan atau disalurkan ke dalam traksaksi perniagaan yang diperbolehkan pada sistem syariah. Hasil keuntungan dari pemanfaatan dana nasabah yang disalurkan ke dalam berbagai usaha itulah yang akan dibagikan kepada nasabah. Hasil usaha semakin tingi maka semakin besar pula keuntungan yang dibagikan bank kepada dan nasabahnya. Namun jika keuntungannya kecil otomatis semakin kecil pula keuntungan yang dibagikan bank kepada nasabahnya. Jadi konsep bagi hasil hanya bisa berjalan jika dana nasabah di bank di investasikan terlebih dahulu kedalam usaha, barulah keuntungan usahanya dibagikan. Berbeda dengan simpanan nasabah di bank konvensional, tidak peduli apakah simpanan tersebut di salurkan ke dalam usaha atau tidak, bank tetap wajib membayar bunganya.
Dengan demikian sistem bagi hasil membuat besar kecilnya keuntungan yang diterima nasabah mengikuti besar kecilnya keuntungan bank syariah. Semakin besar keuntungan bank syariah semakin besar pula keuntungan nasabahnya. Berbeda dengan bank konvensional, keuntungan banknya tidak dibagikan kepada nasabahnya. Tidak peduli berapapun jumlah keuntungan bank konvesional, nasabah hanya dibayar sejumlah prosentase dari dana yang disimpannya saja.
3. Kewajiban Mengelola Zakat
Bank syariah diwajibkan menjadi pengelola zakat yaitu dalam arti wajib membayar zakat, menghimpun, mengadministrasikannya dan mendistribusikannya. Hal ini merupakan fungsi dan peran yang melekat pada bank syariah untuk memobilisasi dana-dana sosial (zakat. Infak, sedekah)
4. Struktur Organisasi
Di dalam struktur organisasi suatu bank syariah diharuskan adanya Dewan Pengawas Syariah (DPS). DPS bertugas mengawasi segala aktifitas bank agar selalu sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. DPS ini dibawahi oleh Dewan Syariah Nasional (DSN). Berdasarkan laporan dari DPS pada masing-masing lembaga keuangan syariah, DSN dapat memberikan teguran jika lembaga yang bersangkutan menyimpang. DSN juga dapat mengajukan rekomendasi kepada lembaga yang memiliki otoritas seperti Bank Indonesia dan Departemen Keuangan untuk memberikan sangsi.
 Bagaimana Nasabah Mendapat Keuntungan?
Jika bank konvensional membayar bunga kepada nasabahnya, maka bank syariah membayar bagi hasil keuntungan sesuai dengan kesepakatan. Kesepakatan bagi hasil ini ditetapkan dengan suatu angka ratio bagi hasil atau nisbah. Nisbah antara bank dengan nasabahnya ditentukan di awal, misalnya ditentukan porsi masing-masing pihak 60:40, yang berarti atas hasil usaha yang diperolah akan didisitribusikan sebesar 60% bagi nasabah dan 40% bagi bank. Angka nisbah ini dengan mudah Anda dapatkan informasinya dengan bertanya ke customer service atau datang langsung dan melihat papan display “ Perhitugan dan Distribusi Bagi Hasil” yang ada di cabang bank syariah. (Kusuma Asda Sandra)

Perbedaan pokok antara perbankan konvensional dengan perbankan syariah adalah adanya larangan untuk membayar dan menerima bunga pada perbankan syariah.
Karena bunga melekat pada pinjaman, maka perbankan syariah tidak menggunakan skema pinjaman dalam penyaluran dananya. Pinjaman hanya digunakan sebagai aktivitas sosial tanpa meminta imbalan. Setiap pinjaman yang disertai dengan imbalan adalah riba.


Dalam referensi yang lain juga diuraikan setidaknya lima perbedaan mendasar bank syariah dengan bank konvensional.

Pertama, bank syariah berdasarkan bagi hasil dan margin keuntungan, sedangkan bank biasa memakai perangkat bunga.

Kedua, pada bank syariah hubungan dengan bank syariah berbentuk kemitraan. Sedangkan pada bank biasa hubungan itu berbentuk debitur – kreditur.

Ketiga, bank syariah melakukan investasi yang halal saja, sedangkan bank biasa, bisa halal, syubhat dan haram.

Keempat, bank syariah berorientasi keuntungan duniawi dan ukhrawi, yakni sebagai pengamalan syariah. Sedangkan orientasi bank biasa semata duniawi.

Kelima, bank syariah tidak melakukan spekulasi mata uang asing dalam operasionalnya untuk meraup keuntungan, sedangkan biasa, banyak yang masih melakaukan. Bank syariah tidak memandang uang sebagai komoditi, sedangkan bank syariah tidak memandang uang sebagai komoditi, sedangkan bank biasa cenderung berpandangan demikian.

 Produk Bank Syariah
Dalam bank syariah ada tiga produk pembiayaan yang dipraktekkan. Pertama, bagi hasil, kedua, jual beli dan ketiga, ijarah (leasing) dan jasa. Bagi hasil, terdiri dari mudharabah dan musyarakah. Jual beli, terdiri dari produk ba’i murabahah, ba’i istitsna’ dan ba’i salam. Jasa, terdiri dari wakalah, kafalah hiwalah. Sedangkan ijarah terdiri dari ba’i at-takjiri dan al-ijarah munthiyah bit tamlik. Jadi, dalam perbankan syariah, bagi hasil hanyalah salah satu produk pembiayaan perbankan syariah. Saat ini bank syariah di Indonesia, masih dominan menerapkan produk jual beli, khususnya, jual beli murabahah dan istisna’, kecuali bank Muamalat. Bank ini secara bertahap berusaha menerapkan konsep bagi hasil dalam pembiayaan. Karena banyaknya prosuk bank syariah maka sistem bagi hasil, sebagi ciri khas utama bank syariah tidak diterapkan secara menyeluruh dalam operasi bank muamalah, karena memang, bagi hasil (mudharabah dan musyarakah) hanyalah salah satu dari konsep fikih muamalah dan merupakan salah saru sistem bank syariah. Namun harus dicatat, meskipun bagi hasil belum diterapkan secara dominan, tetapi praktek bunga sudah bisa dihindarkan secara total, khususnya bank Muamalat dan bank Syariah Mandiri.


 Tujuh Perbedaan

Selanjutnya, akan dijelaskan pula perbedaan bank bunga dan bagi hasil, agar masyarakat tidak lagi menyamakan bunga dan bagi hasil. Setidaknya, ada tujuh perbedaan penting antara bunga dan bagi hasil. Tujuh perbedaan ini sudah terlalu cukup bagi kita untuk memahami konsep bagi hasil dan bedanya dengan bunga.

Pertama, penentuan bunga ditetapkan sejak awal, tanpa pedoman pada untung rugi, sehingga besarnya bunga yang harus dibayar sudah diketahui sejak awal.
Misalnya, si A meminjam uang di sebuah bank konvensional sebesar Rp, 10.000.000,- dengan jangka waktu pelunasan selama 12 bulan. Besar bunga yang harus dibayar si A, ditetapkan bank secara pasti, misalnya 24 % setahun. Dengan demikian si A harus membayar bunga Rp. 200.000 perbulan, selain pokok pinjaman (perhitungan bunga ini didasarkan pada sistem penyusutan).

Sedangkan pada sistem bagi hasil, penentuan jumlah besarnya tidak ditetapkan sejak awal, karena pengambilan bagi hasil didasarkan untung rugi dengan pola nisbah (rasio) bagi hasil. Maka jumlah bagi hasil baru diketahui setelah berusaha atau sesudah ada untungnya.
Misalnya si A menerima pembiayaan mudharabah sebesar Rp. 10.000.000,- dengan jangka waktu pelunasan 12 bulan. Jumlah bagi hasil yang harus dibayarkan kepada bank belum diketahui sejak awal, kedua belah pihak hanya menyepakati porsi bagi hasil, misalnya 80% keuntungan untuk nasabah, dan 20% untuk bank syariah.
Pada bulan pertama si A mendapatkan keuntungan bersih misalnya, sebesar Rp. 1.000.000 maka bagi hasil yang disetornya kepada bank syariah ialah 20% x Rp. 1.000.000,- = Rp. 200.000,- ditambah pokok pinjaman.
Pada bulan ketiga, keuntungan mungkin saja menurun, misalnya Rp. 750.000,- maka bagi hasil yang dibayarkan pada bulan tersebut ialah 20% x Rp.750.000 – Rp. 150.000,-
Dengan demikian, jumlah bagi hasil yang selalu berfluktuasi dari waktu ke waktu, sesuai dengan besar kecilnya keuntungan yang diraih mudharib (pengelola dana/pengusaha). Hal ini berbeda sekali dengan bunga.
Kedua, besarnya persentase bunga dan besarnya nilai rupiah, ditentukan berdasarkan jumlah uang yang dipinjamkan.

Ketiga, dalam sistem bunga, jika terjadi kerugian, maka kerugian itu hanya ditanggung si peminjam (debitur)saja, berdasarkan pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan, sedangkan pada sistem bagi hasil, jika terjadi kerugian, maka hal itu ditanggung bersama oleh pemilik modal dan peminjam. Pihak perbankan syariah menaggung kerugian materi, sedangkan si peminjam menanggung kerugian tenaga, waktu dan pikiran.

Keempat, pada sistem bunga, jumlah pembayaran bunga kepada nasabah penabung/deposan tidak meningkat, sekalipun keuntungan bank meningkat, karena persentase bunga ditetapkan secara pasti tanpa didasarkan pada untung dan rugi. Sedangkan dalam sistem bagi hasil jumlah pembagian laba yang diterima dengan deposan akan meningkat, manakala keuntungan bank meningkat, sesuai dengan peningkatan jumlah keuntungan bank.

Kelima, pada sistem bunga, besarnya bunga yang harus dibayar si peminjam pasti diterima bank, sedangkan dalam sistem bagi hasil besarnya tidak pasti, tergantung pada keuntungan perusahaan yang dikelola si peminjam, sebab keberhasilan usahalah yang menjadi perhatian bersama pemilik modal (bank) dan peminjam.

Keenam, pada sistem bunga dilarang oleh semua agama samawi, sedangkan sistem bagi hasil tak ada agama yang mengecamnya. Bunga dilarang dengan tegas oleh agama-agama Yahudi, Nasrani dan Islam, seperti terungkap di bawah ini. “Jika kamu meminjam harta kepada salah seorang putra bangsaku, janganlah kamu bersikap seperti orang yang menghutangkan, jangan kamu meminta keuntungan untuk hartamu (Kitab Keluaran Perjanjian lama, Ayat 25 pasal 22).

Ketujuh, pihak bank dalam sistem bunga, memastikan penghasilan debitur di masa akan datang, dan karena itu ia menetapkan sejak awal jumlah bunga yang harus dibayarkan kepada bank. Sedangkan dalam sistem bagi hasil, tidak ada pemastian tersebut, karena yang bisa memastikan penghasilan di masa depan hanyalah Allah.
Forum Kajian Ekonomi dan Bank Islam (FKEBI) IAIN-SU

 Komparasi Risiko Bank Syariah versus Bank Konvensional

Bisnis adalah suatu aktifitas yang selalu berhadapan dengan resiko dan return. Bank syari’ah dan bank konvensional adalah salah satu unit bisnis. Oleh karena itu, bank syari’ah dan bank konvensional juga menghadapi risiko yang ada dalam industri perbankan yaitu risiko pasar, kredit, likuiditas, operasional, hukum, reputasi, strategi dan ekuitas. Komponen risiko pasar dapat di kelompokkan sebagai risiko tingkat suku bunga, risiko nilai tukar dan risiko harga. Namun, karena karakteristik yang spesifik dari transaksi bank syari’ah yang kontrak transaksinya tidak didasarkan tingkat suku bunga, maka risiko perubahan tingkat suku bunga bukan merupakan komponen risiko pasar yang dihadapi bank syari’ah. Oleh karena itu artikel ini akan membahas perbandingan risiko pada bank syariah dengan bank konvensional.
Pada Bab II pasal 4 butir 1 PBI No. 5/8/PBI/2003 disebutkan bahwa risiko-risiko yang terdapat pada perbankan, antara lain :

a. Risiko Kredit (credit risk)

Adalah risiko yang timbul sebagai akibat kegagalan pihak memenuhi kewajibannya. Pada bank umum, pembiayaan disebut pinjaman, sementara di bank syariah disebut pembiayaan, sedangkan untuk balas jasa yang diberikan atau diterima pada bank umum berupa bunga (interest loan atau deposit) dalam persentase yang sudah ditentukan sebelumnya. Pada bank syariah, tingkat balas jasa terukur oleh sistem bagi hasil dari usaha. Selain itu, persyaratan pengajuan kredit pada perbankan syariah lebih ketat dari perbankan konvensional sehingga risiko kredit dari perbankan syariah lebih kecil dari perbankan konvensional.

Oleh sebab itu pada sisi kredit, dalam aturan syariah, bank bertindak sebagai penjual, sementara nasabah sebagai pembeli murabahah.

Mekanisme seperti itu, akan mencegah kemungkinan dana kredit digunakan untuk transaksi spekulasi, atau untuk jual beli valas. Jika terjadi default, bank mudah mendapatkan dananya kembali karena ada aset yang nilainya jelas berupa sejumlah kredit yang dikucurkan. Dalam bank syariah, karakter nasabah (personal garansi) lebih dinomorsatukan, ketimbang cover guarantee berupa aset (Karim, 2003).

Dengan demikian debitor yang dinilai tidak cacat hukum dan kegiatan usahanya berjalan baik akan mendapat prioritas. Oleh sebab itu, risiko bank syariah sebetulnya lebih kecil dibanding bank konvensional. Bank syariah tidak akan mengalami negative spread, karena dari dana yang dikucurkan untuk pembiayaan akan diperoleh pendapatan, bukan bunga seperti di bank biasa.

b. Risiko Pasar

Risiko yang timbul karena adanya pergerakan variabel pasar dari portofolio yang dimiliki oleh bank, yang dapat merugikan bank. Variabel pasar antara lain adalah suku bunga dan nilai tukar. Pada perbankan syariah tidak terdapat risiko pasar dikarenakan perbankan syariah tidak melandaskan operasionalnya berdasar risiko pasar.

c. Risiko Likuiditas

Risiko antara lain disebabkan bank tidak mampu memenuhi kewajiban yang telah jatuh tempo. Bank memiliki dua sumber utama bagi likuiditasnya, yaitu aset dan liabilitas. Apabila bank menahan aset seperti surat-surat berharga yang dapat dijual untuk memenuhi kebutuhan dananya, maka resiko likuiditasnya bisa lebih rendah. Sementara menahan aset dalam bentuk surat- surat berharga membatasi pendapatan, karena tidak dapat memperoleh tingkat penghasilan yang lebih tinggi dibandingkan pembiayaan.

Faktor kuncinya adalah bank tidak dapat leluasa memaksimumkan pendapatan karena adanya desakan kebutuhan likuiditas. Oleh karena itu bank harus memperhatikan jumlah likuiditas yang tepat. Terlalu banyak likuiditas akan mengorbankan tingkat pendapatan dan terlalu sedikit akan berpotensi untuk meminjam dana dengan harga yang tidak dapat diketahui sebelumnya, yang akan berakibat meningkatnya biaya dan akhirnya menurunkan profitabilitas. (Zaenal Arifin, :66)

Pada bank syariah, dana nasabah dikelola dalam bentuk titipan maupun investasi. Cara titipan dan investasi jelas berbeda dengan deposito pada bank konvensional dimana deposito merupakan upaya mem-bungakan uang. Konsep dana titipan berarti kapan saja si nasabah membutuhkan, maka bank syariah harus dapat memenuhinya, akibatnya dana titipan menjadi sangat likuid. Likuiditas yang tinggi inilah membuat dana titipan kurang memenuhi syarat suatu investasi yang membutuhkan pengendapan dana.

Karena pengendapan dananya tidak lama alias cuma titipan maka bank boleh saja tidak memberikan imbal hasil. Sedangkan jika dana nasabah tersebut diinvestasikan, maka karena konsep investasi adalah usaha yang menanggung risiko, artinya setiap kesempatan untuk memperoleh keuntungan dari usaha yang dilaksanakan, didalamnya terdapat pula risiko untuk menerima kerugian, maka antara nasabah dan banknya sama-sama saling berbagi baik keuntungan maupun risiko.

d. Resiko Operasional (operational risk)

Menurut definisi Basle Committe, resiko operasional adalah resiko akibat dari kurangnya sistem informasi atau sistem pengawasan internal yang akan menghasilkan kerugian yang tidak diharapkan. Resiko ini lebih dekat dengan keasalahan manusiawi (human error), adanya ketidakcukupan dan atau tidak berfungsinya proses internal, kegagalan sistem atau adanya problem eksternal yang mempengaruhi operasional bank. Tidak ada perbedaan yang cukup signifikan antara bank syariah dan bank konvensional terkait dengan risiko operasional .

e. Risiko Hukum

Risiko yang disebabkan oleh adanya kelemahan aspek yuridis. Kelemahan aspek yuridis antara lain disebabkan adanya tuntutan hukum, ketiadaan peraturan perundang-undangan yang mendukung atau lemahnya perikatan seperti tidak terpenuhinya syarat sahnya kontrak. Tidak ada perbedaan yang cukup signifikan antara bank syariah dan bank konvensional terkait dengan risiko hukum.

f. Risiko Reputasi

Risiko yang antara lain disebabkan oleh adanya publikasi negatif yang terkait dengan usaha bank atau persepsi negatif terhadap bank. Tidak ada perbedaan yang cukup signifikan antara bank syariah dan bank konvensional terkait dengan risiko reputasi.

g. Risiko Stratejik

Risiko yang antara lain disebabkan adanya penetapan dan pelaksanaan strategi bank yang tidak tepat, pengambilan keputusan bisnis yang tidak tepat atau kurang responsifnya bank terhadap perubahan eksternal. Tidak ada perbedaan yang cukup signifikan antara bank syariah dan bank konvensional terkait dengan risiko stratejik.

h. Risiko Kepatuhan

Risiko yang disebabkan bank tidak memenuhi atau tidak melaksanakan peraturan perundang-undangan dan ketentuan lain yang berlaku. Tidak ada perbedaan yang cukup signifikan antara bank syariah dan bank konvensional terkait dengan risiko kepatuhan.

Read more

KEPEMILIKAN PERSPEKTIF ISLAM

Written by aren giff 0 komentar Posted in:

A. Pendahuluan
Semua harta atau kekayaan yang ada di bumi ini pada hakekatnya adalah milik Allah SWT secara mutlak dan tunduk kepada aturan yang telah digariskanNya. Dan semua yang ada di langit dan di bumi ini sebenarnya diperuntukkan bagi manusia untuk keperluan hidupnya. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam al-Quran: surah al-Baqarah:29

هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ فَسَوَّاهُنَّ سَبْعَ سَمَوَاتٍ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍعَلِيم
(Dialah, Allah yang menciptakan segala apa yang ada di bumi untukmu kemudian Dia menuju ke langit, lalu Dia menyempurnakannya menjadi tujuh langit. Dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu)
Secara logika dapat dipastikan apa-apa yang diciptakan Allah SWT untuk manusia pastilah mencukupi untuk seluruh manusia. Persoalan kepemilikan terjadi ketika manusia berkumpul membentuk suatu komunitas dan berinteraksi untuk memenuhi kebutuhan akan kelangsungan hidupnya. Dalam perjalanan selanjutnya dijumpai ada sekelompok manusia yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya namun tidak sedikit pula ada kelompok manusia lain yang tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Disinilah kemudian urgensitas pembahasan konsep kepemilikan ini agar benar-benar dapat menjadi jawaban bagaimana seharusnya pengaturan kepemilikan terhadap segala yang sudah dianugerahkan oleh Allah SWT dapat memenuhi kebutuhan hidup seluruh manusia secara adil.


B. Pembahasan
Agar lebih jelas tentang kepemilikan, maka di sini dinukilkan pendapat beberapa pakar tentang arti kepemilikan. Hussain Abdullah menjelaskan kepemilikan (al-milkiyyah) adalah cara atau usaha yang boleh bagi manusia untuk mendaya-gunakan dan memanfaatkan sesuatu dari jasa atau barang.3 Muhammad H. Behesti menjelaskan kepemilikan adalah menunjukkan suatu hubungan sosial dan diakui antar individu atau antar kelompok dengan barang, atas dasar norma-norma yang berlaku di masyarakat, dan mencerminkan hak milik yang sah, dan pada saat yang sama menghalangi pihak lain dari hak-hak seperti itu.
Yang paling urgen untuk dipahami terkait dengan kepemilikan adalah masalah penilaian tentang kepemilikan. Bila dikaji secara mendalam, penilaian dari suatu realitas -termasuk kepemilikan- sangat tergantung pada ideologi atau aqidah.5 Ideologi inilah yang menurut Liddle yang akan menghasilkan realitas sosial, dalam arti ideologi inilah yang akan memberikan konsepsi-konsepsi yang patut dikejar sekaligus cara mengejarnya.6 Lebih lanjut Fazlur Rahman menegaskan masyarakat Islam dibentuk karena ideologinya, yaitu “Islam”. Ideologi itulah weltanschauung, yang menjelaskan realitas tertentu, atau cara memandang realitas. Walhasil bila membahas konsepsi mendasar kepemilikan harus dilihat dari ideologi yang mendasari pandangan dan penilaian tentang kepemilikan tersebut.
Secara garis besar, bahwa di dunia ada tiga ideologi, yaitu kapitalisme-liberalisme, sosialisme-komunisme dan religius (Islam). Dalam era sekarang ideologi kapitalisme yang mendominasi percaturan dunia baik dari aspek politik, ekonomi dan militer. Sedangkan ideologi Islam masih dalam tataran rekonstruksi dan restrukturisasi menuju kebangkitan. Walhasil bisa dikatakan ideologi sosialisme-komunisme sudah mengalami masa keberakhiran dan kejompoan dan hilang dari peredaran bersamaan dengan ambruknya soko guru sosialisme-komunisme yakni Uni Sovyet, dan kapitalisme sedang mengalami era “kejayaan”, sedangkan ideologi Islam sedang menuju super power masa depan.

Terkait dengan masalah kepemilikan kapitalisme memandangnya sebagai sesuatu yang sangat individual, dalam arti individu diperlakukan sebagai wujud yang mandiri secara mutlak, tanpa disertai ketergantungan pada unsur-unsur eksternal. Atau bisa disimpulkan asas kepemilikan yang ada pada kapitalisme seperti yang dijelaskan oleh Muhammad al-Bahi, yaitu: Pertama, harta yang sudah dimiliki oleh individu, maka kepemilikan itu adalah menjadi hakekat yang mutlak, dalam arti tidak bisa diganggu gugat. Kedua, tidak ada individu selain dari pemilik harta itu yang bisa berserikat dalam hak miliknya. Ketiga, hasil dan keuntungan dari harta akan kembali kepada pemilik harta itu saja. Keempat, kebebasan untuk berusaha dan menciptakan sarana dalam mengembangkan harta terserah kepada pemiliknya, dan tidak ada orang atau organ lain yang berhak mengawasi atau melarangnya.
Adapun sosialisme memandang bahwa individu tidak mempunyai kemandirian sama sekali, individu ini menerima kecakapan dari masyarakat. Jadi yang mempunyai eksistensi sejati adalah keseluruhan masyarakat, dan individu sama sekali tidak mempunyai realitas, apapun bentuknya. Terkait dengan ketidakberhakan individu, sosialisme-komunisme memandang lembaga kepemilikan individu harus dihancurkan, sehingga tidak akan ada klaim kepemilikan dari individu.13 Akhirnya sosialisme mendukung penasionalisasian sumber-sumber produksi. Karena sumber-sumber produksi bila diberikan pada individu akan mengakibatkan terciptanya kelas-kelas yang saling bertentangan dalam masyarakat, sehingga hubungan mereka akan terputus. Hal inilah yang akan memberikan peluang kepada kaum kapitalis untuk mengeksploitasi dan menghisap rakyat kecil
Adapun ideologi Islam terkait dengan aturan ekonomi adalah berbeda dengan ideologi yang lain. Hal ini bisa dilihat dari macam kepemilikan dan nilai filosofis yang terkait dengannya. Islam membagi masalah kepemilikan menjadi tiga macam; Pertama, kepemilikan individu (al-milkiyyah al-fardiyyah). Kedua, kepemilikan umum (al-milkiyyah al-‘ammah). Ketiga, kepemilikan negara (al-milkiyyah al-daulah).16
Sadangkan dalam islam kepemilikan individu selalu didasarkan pada agama, yaitu kepemilikan yang pada dasarnya hanya bersifat sementara, dan bukan menguasai secara mutlak teradap sumber-sumber produksi, tetapi ia hanya memiliki kemanfaatannya. Semua yang ada di alam semesta ini termasuk sumber daya alam bahkan harta kekayaan yang di kuasai manusia adalah milik Allah Swt. Sebagaimana hadis nabi SAW
حَدَّثَنَا يَزِيْدُ بْنُ عَبْدِ رَبِّهِ حَدَّثَنَا بَقِيَّةُ بْنُ الْوَلِيْدِ حَدَّثَنِيْ جُبَيْرُ بْنُ عَمْرٍو الْقُرَشِيُّ حَدَّثَنِي أَبُو سَعْدٍ اْلأَنْصَارِيُّ عَنْ أَبِيْ يَحْيَ مَوْلَى آلِ الزُّبَيْرِ بْنِ الْعَوَّامِ رَضِيَ الله ُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْبِلاَدُ اللهِ وَالْعِبَادُ عِبَادُ اللهِ فَحَيْثُمَا أَصَبْتَ خَيْرًا فَأَقِمُ.
Artinya: negara adalah milik Allah, hamba juga milik Allah, jika engkau mendapatkan kebaikan maka lakukanlah/tegakkanlah.
Manusia sebagai kolifah di muka bumi, ia berkewajiban mengelola alam untuk kepentingan umat manusia, dan kelak ia wajib mempertanggungjawabkan pengelolaan sumberdaya alam yang di lakukan. Dalam menjalankan tugasnya, manusia mendapatkan kekayaan yang menjadi miliknya untuk memenuhi kebutuhan diri beserta keluarganya dan sebagian lagi untuk kepentingan masyarakat. Meskipun ia memiliki tetapi ia tidak boleh merusak ataupun menelantarkannya, mengingat kepemilikan ini adalah relatif dan amanah dari Allah Swt.
Kepemilikan umum didefinisikan sebagai izin al-shari‘ kepada suatu komunitas untuk sama-sama memanfaatkan suatu barang. Negara tidak berhak mengubah kepemilikan tersebut menjadi kepemilikan individu. Kepemilikan umum tersebut tampak pada tiga macam yaitu; Pertama, merupakan fasilitas umum, di mana jika tidak ada di dalam suatu negara atau komunitas, akan menyebabkan sengketa atau kesulitan. Kedua, bahan tambang yang tidak terbatas. Ketiga, benda yang sifat pembentukannya menghalangi untuk dimiliki perorangan.19
Dalil adanya kepemilikan umum ini berdasarkan sabda Nabi:
عن ابن عباس رضى الله عنه قال قال رسول الله صلعم المسلمون شركاء في الثلث في الماء والكلاء والناروثمنه حرام قال ابوسعيد يعنى الماءالجارى
Artinya :
Dari Ibnu Abbas ra rasul bersabda : orang muslim berserikat dalam tiga perkaraa : air, rerumputan dan api dan harganya haram dan Abu Said berkata maksudnya adalah air yang mengalir.
Mengenai bahan tambang yang tidak terbatas jumlahnya, berdasarkan Hadith dari Abya}d bin }Hammal al-Mazini, bahwa ia telah meminta kepada Nabi untuk mengelola tambang garam. Lalu Nabi memberikannya. Setelah ia pergi, ada seorang laki-laki dari majelis t21
ersebut bertanya:
أتدرى ما قطعت له؟ إنما قطعت له الماء العد. قال فانتزعه منه.
(Tahukah anda wahai Rasulullah, apa yang telah anda berikan kepadanya? Sesungguhnya anda telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir. Rasulullah kemudian bersabda: Tariklah tambang tersebut darinya).
Kepemilikan negara merupakan harta yang menjadi hak seluruh warga negara, yang pengelolaannya menjadi wewenang penguasa, di mana dia bisa mengkhususkan kepada seseorang atau suatu kaum sesuai dengan kebijaksanaan-nya. Atas dasar inilah maka tiap kepemilikan yang pengelolaannya tergantung pada pandangan dan ijtihad penguasa, maka hak milik tersebut dianggap sebagai hak milik Negara.22
Itulah cara pandang Islam terhadap kepemilikan. Hemat penulis, cara pandang Islam ini lebih adil dan sangat mendasar. Bila dikomparasikan dengan dua ideologi yang lain (kapitalisme dan sosialisme), Model kepemilikan versi Islam adalah yang paling sesuai dengan fitrah manusia. Karena memang tidak bisa dipungkiri bahwa dalam diri manusia punya potensi untuk memiliki dan menguasai sesuatu. Begitu juga dalam masyarakat diperlukan kepemilikan yang sifatnya umum dan kepemilikan yang ditangani oleh negara.
Islam juga memperingatkan tentang kepemilikan agar tidak melupakan Allah dan tidak melakukan kepemilikan yang dilarang oleh-Nya serta agar tidak mengabaikan rasa sosial. Dan inilah aturan Islam yang sangat adil, etis serta mengena pada nurani manusia.
Walhasil aturan Islam adalah aturan yang lebih canggih dan modern serta sesuai dengan fitrah manusia. Sebuah aturan yang bersumber pada aqidah Islam, suatu aturan yang sama sekali beda, khas dan spesifik, dan tidak dapat dipadankan dengan aturan lain mana pun dari semua sistem yang ada, baik dari aspek ekonomi, pemerintahan, sosial dan yang lain,23 sebuah aturan yang tidak melupakan aspek transendental dan eskatologis, aturan yang akan memberi kesejahteraan dan keselamatan di dunia, dan akan membawa kebahagiaan di akhirat, aturan yang akan menjadikan Allah hadir dan mengawasi dalam tiap perilaku muslim.
C. Kesimpulan
Ownership/al-milkiyyah (kepemilikan) adalah usaha bagi manusia untuk mendayagunakan dan memanfatkan suatu barang atau jasa. Dalam pandangan kapitalisme hak individu untuk kepemilikan tidak bisa diganggu gugat oleh siapapun dan apapun selama tidak mengganggu otoritas dan kebebasan individu lain. Juga asas mashlahah naf‘iyyah atau kemanfaatan sangat dominan tanpa memandang apakah kemanfaatan yang dilakukan itu tercela atau terpuji. Sosialisme memandang bahwa individu tidak mempunyai kemandirian sama sekali, individu ini menerima kecakapan dari masyarakat, sehingga yang mempunyai eksistensi sejati adalah keseluruhan masyarakat. Islam membagi kepemilikan ke dalam tiga kelompok, yaitu kepemilikan individu (al-milkiyyah al-fardiyyah), kepemilikan umum (al-milkiyyah al-‘ammah), dan kepemilikan negara (al-milkiyyah ad-daulah).

DAFTAR PUSTAKA
Mohtar Mas’oed, Negara, Kapital dan Demokrasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994.
Masdar F. Mas’udi, Kontekstualisasi Doktrin Islam,1973
Nafis, Abdul Wahid, Ekonomi Makro Islam, Jakarta: Mitra Abadi Press, 2011.
Subandi, Sistem Ekonomi Indonesiai, Bandung: Alfabeta, 2009.
Diana, Ilfi Nur, Hadis-Hadis Ekonomi, Malang: UIN Malang Press, 2008.

Read more

HADIS EKONOMI

Written by aren giff 0 komentar Posted in:

BAB I
KEPEMILIKAN

عن ابى هريرة رضى الله عنه قال جاء رجل الى رسول الله صلعم فقال يا رسول الله أرأيت ان جاء رجل يريد اخذ مالى قال فلا تعطه مالك قال أرأيت ان قاتلنى قال قاتله قال أرأيت ان قتلنى قال فانت شهيد قال أرأيت ان قتلته قال هو فى النار

عن رافع بن خديج رضى الله عنه قال قال رسول الله صلعم من زرع فى أرض قوم بغير اذنهم فليس له من الزرع شئ وله نفقته

عن سمرة بن جندب رضى الله عنه ان النبى صلعم قال اذا أتى أحدكم على ماشية فان كان فيها صاحبها فليستأذنه – فان لم يجب أحد فليحتلب وليشرب ولا يحمل

 عن ابن عباس رضى الله عنه قال قال رسول الله صلعم المسلمون شركاء فى الثلث فى الماء والكلاء والنار وثمنه حرام قال ابو سعيد يعنى الماء الجارى

BAB II
MENCARI HARTA KEKAYAAN

عن جابر بن عبد الله رضى الله عنه قال قال رسول الله صلعم ايها الناس اتقوا الله واجملوا فى الطلب فان نفسا لن تموت حتى تستوفى رزقها وان ابطاء عنها فاتقوا الله واجملوا فى الطلب خذوا ما حل ودعوا ما حرم
عن على كرم الله عنه وجهه قال سمعت رسول الله صلعم يقول : تحت ظل العرش يوم لاظل الا ظله رجل خرج ضاربا فى الارض يطلب من فضل الله يعود به على عياله

عن على  كرم الله  وجهه قال جاء رجل الى النبى صلعم فقال يا رسول الله أى الكسب أفضل ؟ فقال صلعم : عمل الرجل بيده وكل بيع مبرور فان الله يحب المؤمن المحترف ومن كد على عياله كان كالمجاهد فى سبيل الله عز وجل

عن ابى هريرة  رضى الله عنه قال ان رسول الله صلعم قال لايزنى الزانى حين وهو مؤمن ولا يسرق السارق حين يسرق وهو مؤمن ولا يشرب الخمر حين يشربها وهو مؤمن ولا ينتهب نهبة ذات شرف يرفع الناس اليه فيها ابصارهم حين ينتهبها وهو مؤمن

عن عبد الله بن عمرو قال : لعن رسول الله صلعم الراشى والمرتشى

عن ابى أمامة رضى الله عنه عن النبى صلعم قال : من شفع لاخيه بشفاعة فاهدى له هدية عليها فقبلها فقد اتى بابا عظيما من ابواب الربا

BAB III
SUMBER DAYA ALAM (TANAH)

عن طاوس رضى الله عنه انه كان يخابر قال عمرو فقلت له يا ابا عبد الرحمن لو تركت هذه المخابرة فانهم يزعمون ان النبى صلعم نهى عن المخابرة فقال اى عمر واخبرنى اعلمهم بذالك (يعنى ابن عباس ) ان النبى صلعم لم ينه عنها قال يمنح احدكم اخاه خير له من ان يأخذ عليها خرجا معلوما

عن ابى هريرة رضى الله عنه قال قال رسول الله صلعم من كانت له أرض فليزرعها او ليمنحها اخاه فان ابى فليمسك ارضه

عن جابر بن عبد الله رضى الله عنه انه سمع رسول الله صلعم ينهى عن المزابنة والحقول فقال جابر بن عبد الله المزابنة التمر بالتمر والحقول كراء الارض

عن ابى هريرة رضى الله عنه قال نهى رسول الله صلعم عن المحاقلة والمزابنة

عن ابى سعيد الخدرى قال نهى رسول الله صلعم عن المزابنة والمحاقلة والمزابنة اشتراء التمر فى رؤوس النخل والمحاقلة كراء الارض

عن معاذ بن جبل اكرى الارض على عهد رسول الله صلعم وابى بكر وعمر وعثمان على الثلث والربع فهو يعمل به الى يوم هذا

عن عروة قال خاصم الزبير رجل من الانصار فقال النبى صلعم يا زبير اسق ثم ارسل فقال الانصارى انه ابن عمتك فقال عليه السلام اسق يا زبير ثم يبلغ الماء: الجدر ثم امسك فقال الزبير فاحسب هذه الاية نزلت فى ذالك فلا وربك لايؤمنون حتى يحكموك فيما شجر بينهم

عن جابر بن عبد الله قال نهى رسول الله صلعم عن بيع فضل الماء

عن جابر بن عبد الله يقول نهى رسول الله صلعم عن بيع ضراب الجمل وعن بيع الماء والارض لتحرث فعن ذالك نهى النبى صلعم

عن ابى هريرة رضى الله ان رسول الله صلعم قال لاىمنع فضل الماء ليمنع به الكلاء

عن ابى هريرة رضى الله عنه يقول قال رسول الله صلعم لايباع فضل الماء ليباع به الكلاء

BAB IV
SUMBER DAYA MANUSIA (TENAGA KERJA)

عن عبد الله ابن عمر قال قال رسول الله صلعم اعطوا الاجير اجره قبل ان يجف عرقه

عن ابى هريرة  رضى الله عنه عن النبى صلعم قال قال الله ثلاثة انا خصمهم يوم القيامة : رجل اعطى بى ثم غدر ورجل باع حرا فا كل ثمنه ورجل استأجر اجيرا فاستوفى منه ولم يعط اجره

عن المستورد بن شداد قال : سمعت النبى صلعم يقول : من كان لنا عاملا فليكتسب زوجة فان لم يكن له خادم فليكتسب خادما فان لم يكن له مسكن فليكتسب مسكنا قال قال ابو بكر : اخبرت ان النبى صلعم قال : ومن اتخذ غير ذالك فهو غال او سارق

عن نافع عن عبد الله رضى الله عنه عن النبى صلعم قال : اذا نصح العبد سيده واحسن عبادة ربه – وكان له اجره مرتين

BAB V
MODAL

عن عمرو بن شعيب عن ابيه عن جده قال قال رسول الله صلعم لا يحل بيع ما ليس عندك ولا ربح مالم يضمن

عن ابى هريرة رضى الله رفعه قال : ان الله تعالى يقول  : انا ثالث الشريكين مالم يخن احدهما صاحبه فاذا خانه خرجت من بينهما

عن عروة – يعنى ابن ابى الجعد البارقى – قال : اعطاه النبى صلعم دينارا يشترى به اضحية اوشاة فاشترى شاتين فباع احدهما بدينار فاتاه بشاة ودينارفدعاله بالبركة فى بيعه فكان لو اشترى ترابا لربح فيه

عن حكيم بن حزام ان رسول الله صلعم بعث معه بدينار يشترى له اضحية فاشتراها بدينار وباعها بدينارين فرجع فاشترى له اضحية بدينار وجاء بدينار الى النبى صلعم فتصدق به النبى صلعم ودعاله ان يبارك له فى تجارته

عن صالح بن صهيب عن ابيه قال قال رسول الله صلعم ثلاث فيهن البركة البيع الى اجل والمقارضة واخلاط البر بالشعير للبيت لا للبيع

BAB VI
PERILAKU KONSUMEN

عن جابر بن عبد الله ان رسول الله صلعم قال له فراش للرجل وفراش لامرأته والثالث للضيف والرابع للشيطان

عن عثمان بن عفان رضى الله عنه ان النبى صلعم قال: ليس لابن ادم حق فى سوى هذه الخصال : بيت يسكنه وثوب يوارى عورته وجلف الخبز والماء

عن عبد الله بن عمرو ان رسول الله صلعم قال : قد افلح من اسلم وكان رزقه كفافا وقنعه الله

عن فضالة بن عبيد انه سمع رسول الله صلعم يقول : طوبى لمن هدى الى الاسلام وكان عيشه كفافاوقنع

عن ابى هريرة رضى الله عنه قال قال رسول الله صلعم اللهم اجعل رزق ال محمد قوتا

عن ابى هريرة رضى الله  قال قال رسول الله صلعم اللهم اجعل رزق ال محمد قوتا وفى رواية عمرو اللهم ارزق
عن انس بن مالك قال قال رسول الله صلعم ان من السرف ان تأكل كل ما اشتهيت

عن عمرو بن شعيب عن ابيه عن جده قال قال رسول الله صلعم : كلوا وتصدقوا والبسوا فى غير اسراف ولا مخيلة

عن عمرو بن شعيب عن ابيه عن جده قال قال رسول الله صلعم: ان الله يحب ان يرى اثرنعمته على عبده

عن سعد بن ابى وقاص رضى الله عنه كان يأمر بهؤلاء الخمس ويحدثهن عن النبى صلعم اللهم انى اعوذ بك من البخل واعوذ بك من الجبن واعوذ بك ان ارد الى ارذل العمر واعوذ بك من فتنة الدنيا واعوذ بك من عذاب القبر

عن اسماء بنت يزيدرضى الله عنه ان رسول الله صلعم قال: ايما امراة تقلدت قلادة من ذهب قلدت فى عنقها مثله من النار يوم القيامة وايما امراة جعلت فى اذنها خرصا من ذهب جعل فى اذنها مثله من النار يوم القيامة

عن معاوية بن ابى سفيان رضى الله عنه ان رسول الله صلعم نهى عن ركوب النمار وعن لبس الذهب الا مقطعا

عن عبد الله بن عمرو بن العاص عن رسول الله صلعم انه قال من لبس الذهب من امتى فمات وهو يلبسه حرم الله عليه ذهب الجنة ومن لبس الحرير من امتى فمات وهو يلبسه حرم عليه حرير الجنة

عن عبد الله بن عمرو قال  قال رسول الله صلعم ان الله حرم على امتى الخمر والميسر والمزر والقنين والكوبة وزاد لى صلاة الوتر

عن ابى هريرة رضى الله عنه قال قال رسول الله صلعم لاتدخل الملائكة بيتا فيه تماثيل او تصاوير

عن عبيد الله بن عبد الله بن عتبة رضى الله عنه انه سمع ابن عباس يقول سمعت ابا طلحة يقول سمعت رسول الله صلعم يقول لاتدخل الملائكة بيتا فيه كلب ولا صورة

عن ابى هريرة رضى الله عنه عن رسول الله صلعم قال ما نقصت صدقة من مال وما زاد الله عبدا بعفو الا عزا وما تواضع احد لله الا رفعه الله

عن عقبة بن عامر رضى الله يقول سمعت رسول الله صلعم يقول: كل امرئ فى ظل صدقته حتى يفصل بين الناس او قال يحكم بين الناس

عن ابى هريرة رضى الله عنه قال اتى رسول الله صلعم رجل فقال يارسول الله اى الصدقة اعظم فقال ان تصدق وانت صحيح شحيح تخشى الفقر وتأمل الغنى ولا تمهل حتى اذا بلغت الحلقوم قلت لفلان كذا ولفلان كذا الا وقد كان لفلان

عن ابى هريرة رضى الله عنه عن النبى صلعم قال سبعة يظلهم الله فى ظله يوم لا ظل الا ظله الامام العادل وشاب نشأ بعبادة الله ورجل قلبه معلق فى المساجد ورجلان تحبا فى الله اجتمعا عليه وتفرقا عليه ورجل دعته امرأة ذات منصب وجمال فقال انى اخاف الله ورجل تصدق بصدقة فاخفاها حتى لاتعلم يمينه ما تنفق شماله ورجل ذكر الله خاليا ففاضت عيناه

عن ابى ذر عن النبى صلعم قال ثلاثة لايكلهم الله يوم القيامة ولا ينظر اليهم ولا يزكيهم ولهم عذاب اليم قال فقرأها رسول الله صلعم ثلاث مرات قال ابو ذر خابوا وخسروا من هم يا رسول الله قال المسبل والمنان والمنفق سلعته بالحلف الكاذب

BAB VII
MEKANISME PASAR

عن قتادة الانصارى رضى الله عنه انه سمع رسول الله صلعم يقول اياكم وكثرة الحلف فى البيع فانه ينفق ثم يمحق

عن ابن سيرين رضى الله عنه قال سمعت ابا هريرة يقول ان رسول الله صلعم قال لا تلقوا الجلب فمن تلقاه فاشترى منه فاذا اتى سيده السوق فهو بالخيار

عن ابى هريرة رضى الله عنه يبلغ به النبى صلعم قال لايبع حاضر لباد وقال زهير عن النبى صلعم انه نهى ان يبيع حاضر لباد

عن انس بن مالك رضى الله عنه قال نهينا ان يبيع حاضر لباد وان كان اخاه او اباه

عن ابن عمر رضى الله عنه ان رسول الله صلعم قال لايبع بعضكم على بيع بعض

عن ابن عمر عن النبى صلعم قال لايبع الرجل على بيع اخيه ولا يخطب على خطبة اخيه الا ان يأذن له

عن ابى سعيد الخدرى رضى الله عنه يقول قال رسول الله صلعم انما البيع عن تراض

عن ابن عمر ان رسول الله صلعم قال البيعان كل واحد منهما بالخيار على صاحبه مالم يتفرقا الا بيع الخيار

عن ابن عمر عن رسول الله صلعم انه قال اذا تبايع الرجلان فكل واحد منهما بالخيار مالم يتفرقا وكانا جميعا او يخير احدهما الاخر فان خير احدهما الاخر فتبايعا على ذلك فقد وجب البيع وان يتفرقا بعد ان تبايعا ولم يترك واحد منهما البيع فقد وجب البيع

عن عبد الله بن عمر يقول قال رسول الله صلعم اذا تبايع المتبايعان بالبيع فكل واحد منهما بالخيار من بيعه مالم يتفرقا او يكون بيعهما عن خيار فاذا كان بيعهما عن خيار فقد وجب زاد ابن ابى عمر فى روايته قال نافع فكان اذا بايع رجلا فاراد ان لا يقبله قام فمشى هنيهة ثم رجع اليه

عن ابى هريرة رضى الله قال قال رسول الله صلعم لايتفرق المتبايعان عن بيع الا عن تراض
عن ابى هريرة رضى الله عنه ان رسول الله صلعم نهى عن الملامسة

عن ابى هريرة رضى الله عنه انه قال نهى عن بيعتين الملامسة والمنابذة اما الملامسة فان يلمس كل واحد منهما ثوب صاحبه بغير تأمل والمنابذة ان ينبذ كل واحد منهما ثوبه الى الاخر ولم ينظر واحد منهما الى ثوب صاحبه

عن ابى هريرة رضى الله عنه قال نهى رسول الله صلعم عن بيع الحصاة وعن بيع الغرر

BAB VIII
TRANSAKSI TUNAI DAN KREDIT

عن عثمان بن عفان ان رسول الله صلعم قال لا تبيعوا الدينار بالدينارين ولا الدرهم بالدرهمين

عن ابى هريرة رضى الله عنه قال قال رسول الله صلعم من باع بيعتين فى بيعة فله اولهما او الربا

عن علقمة عن عبد الله رضى الله عنه قال لعن رسول الله صلعم اكل الربا ومؤكله قال قلت وكاتبه وشاهديه قال انما نحدث بما سمعنا

عن جابر رضى الله عنه قال لعن رسول الله صلعم اكل الربا وموكله وكاتبه وشاهديه وقال هم سواء
عن ابى هريرة رضى الله عنه ان رسول الله صلعم قال اجتنبوا السبع الموبقات قيل يا رسول الله صلعم وماهن قال الشرك بالله والسحر وقتل النفس التى حرم الله الا بالحق واكل مال اليتيم واكل الربا والتولى يوم الزحف وقذف المحصنات الغافلات المؤمنات

عن ابى هريرة رضى الله عنه عن النبى صلعم قال من اخذ اموال الناس يريد اداءها ادى الله عنه ومن اخذ يريد اتلافها اتلفه الله

عن ابى هريرة رضى الله عنه ان رسول الله صلعم قال مطل الغنى ظلم واذا اتبع احدكم على مليئ فليتبع

BAB IX
LEMBAGA KEUANGAN UMAT

عن عبد الله رضى الله عنه ان رسول الله صلعم قال كلكم راع فمسئول عن رعيته فالامير الذى على الناس راع وهو مسئول عنهم والرجل راع على اهل بيته وهو مسئول عنهم والمرأة راعية على بيت بعلها وولده وهى مسئولة عنهم والعبد راع على مال سيده وهو مسئول عنه الا فكلكم راع وكلكم مسئول عن رعيته

عن ابن عمر رضى الله عنهما قال قال رسول الله صلعم بنى الاسلام على خمس شهادة ان لااله الا الله وان محمدا رسول الله واقام الصلاة وايتاء الزكاة والحج وصوم رمضان

عن عبد الله بن عمر رضى الله عنه قال قال رسول الله صلعم امرت ان اقاتل الناس حتى يشهدوا ان لا اله الا  الله وان محمدا رسول الله ويقيموا الصلاة ويؤتوا الزكاة فاذا فعلوا عصموا منى دماءهم واموالهم الا بحقها وحسابهم على الله

عن انس رضى الله عنه ان ابا بكر كتب له فريضة الصدقة التى فرض رسول الله صلعم ولا يجمع بين متفرق ولا يفرق بين مجتمع خشية الصدقة

عن عقبة بن عامر قال سمعت رسول الله صلعم قال لا يدخل الجنة صاحب مكس

عن معاذ بن جبل ان رسول الله صلعم بعثه الى اليمن فقال خذ الحب من الحب والشاة من الغنم والبعير من الابل والبقرة من البقر

عن انس بن مالك قال قال رسول الله صلعم المعتدى فى الصدقة كمانعها

عن ابى ذر رضى الله عنه قال سمعت رسول الله صلعم يقول فى الابل صدقتها وفى الغنم صدقتها وفى البقر صدقتها وفى البر صدقته

عن عائشة رضى الله عنها قالت سمعت رسول الله صلعم يقول لازكاة فى مال حتى يحول عليه الحول


BAB X
PEMBANGUNAN EKONOMI

عن ابى هريرة رضى الله عنه يبلغ به النبى صلعم قال المؤمن القوى خير واحب الى الله من المؤمن الضعيف وفى كل خير احرص على ما ينفعك ولا تعجز فان غلبك امر فقل قدر الله وماشاء فعل واياك واللو فان اللو تفتح عمل الشيطان

عن ابى هريرة رضى الله عنه قال قال رسول الله صلعم ان الله يرضى لكم ثلاثا ويكره لكم ثلاثا فيرضى لكم ان تعبدوه ولا تشركوا به شيئا وان تعتصموا بحبل الله جميعا ولا تفرقوا ويكره لكم قيل وقال وكثرة السؤال واضاعة المال

عن عبد الله رضى الله عنه قال سألت رسول الله صلعم اى الذنب اعظم عند الله قال ان تجعل لله ندا وهو خلقك قال قلت له ان ذالك لعظيم قال قلت ثم اى قال ثم ان تقتل ولدك مخافة ان يطعم معك قال قلت ثم اى قال ثم ان تزانى حليلة جارك

عن عائشة رضى الله عنها ان النبى صلعم قال لا يجوع اهل بيت عندهم التمر

عن كعب بن عياض رضى الله عنه قال سمعت رسول الله صلعم يقول ان لكل امة فتنة وان فتنة امتى المال
  

Read more

Pages

Total Tayangan Halaman

Powered By Blogger
Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini