ISTIHSAN DAN ISTISHLAH

Written by aren giff 1 komentar Posted in:

BAB I

PENDAHULUAN

Ilmu Ushul Fiqh adalah salah satu ilmu perangkat dasar yang harus dimiliki oleh ahli hukum Islam yang hendak melakukan istimbat hukum Islam, mencoba mengetahui maksud Allah yang terdapat dalam al-Qur’an. (asy-Syatibi, t.t: 375). Dalam pembahasan tentang syarat-syarat mujtahid, penguasaan atas ilmu ushul fiqh menjadi syarat utama yang dikemukakan oleh para ulama. Hal ini tentunya bertujuan agar proses ijtihad dan hasilnya bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Walaupun semua ulama sepakat atas hal tersebut, fakta yang terjadi adalah bahwa tetap saja terjadi perbedaan di antara para mujtahid dalam penetapan hukum Islam sehingga ditemukan beragam madzhab dalam hukum Islam. Keragaman ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya adalah karena adanya perbedaan dalam konsep ushul fiqh di antara para mujtahid. (al-Khin, 1996: 38). Dalam pembahasan tentang dalil-dalil penetapan hukum Islam misalnya, ushul fiqh selalu membagi dalil menjadi dua kelompok besar, yakni dalil-dalil yang disepakati (al-Adillah al-Muttafaq ‘Alaiha) dan dalil-dalil yang diperselisihkan (al-Adillah al-Mukhtlaf Fiha). Dalil yang disepakati adalah al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Sedangkan dalil yang diperselisihkan diantaranya adalah Qaul Sahabi, Maslahah Mursalah, Istishab, Istihsan, Istishlah dsb. Salah satu dalil yang diperselisihkan oleh ulama yang akan menjadi tema dalam tulisan ini adalah Istihsan dan Istishlah.






BAB II
PEMBAHASAN
1.      ISTIHSAN
A.    Pengertian Istihsan
Secara etimologi istihsan berasal dari kata al-hasan yang berarti sesuatu yang baik. Dengan adanya huruf tambahan alif, sin dan ta’, maknanya menjadi menganggap baik sesuatu. (Ibn Manzur, t.t: 117). Sedangkan secara terminologi, istihsan memiliki makna yang beragam.Diantaranya :
1. العدول في مسألة عن مثل ما حكم به في نظائرها إلى خلافه، لوجه هو أقوى
Berpindah dari hukum sebuah masalah pada yang semisalnya karena adanya dalil yang lebih kuat.
2. ما استحسنه المجتهد بعقله
Sesuatu yang dianggap baik oleh Mujtahid menurut penalarannya.
3. عن دليل ينقدح في نفس المجتهد لا يقدر على إظهاره لعدم مساعدة العبارة عنه إنه عبارة
Dalil yang terbetik dalam diri seorang mujtahid, namun tidak dapat diungkapkannya dengan kata-kata karena tidak adanya ungkapan yang bisa membantunya. (Ibnu Qudamah, 1981: 85)
4. الأخذ بمصلحة جزئية في مقابلة دليل كلي
Mengambil kemaslahatan yang bersifat parsial dan meninggalkan dalil yang bersifat umum (kulli) (asy-Syatibi, t.t.: 205)
5. ترجيح قياس خفي على قياس جلي لدليل
Mendahulukan qiyas khafi atas qiyas jali berdasarkan pada dalil. (az-Zuhaili, 1986: 739)
Dan masih ada definisi-definisi lain dari para ulama’ ushul yang berusaha menjelaskan pengertian dari istihsan. Dari beberapa definisi tersebut, setidaknya hanya satu definisi – definisi kedua- yang memiliki pengertian yang berbeda. Empat definisi lain memiliki kesamaan, yaitu meninggalkan suatu hukum atau dalil pada hukum atau dalil lain karena ada faktor yang menghendaki perpindahan tersebut.

B.     Macam-macam Istihsan
1.      Istihsan dengan Nas
Nash dalam hal ini bisa berupa al-Qur’an maupun as-Sunnah. Maknanya adalah meninggalkan hukum berdasarkan qiyas dalam suatu masalah menuju hukum lain yang berbeda yang ditetapkan oleh al-Qur’an atau as-Sunnah. Misal istihsan dengan al-Qur’an adalah hukum istihsan dalam wasiat. Qiyas tidak membolehkan wasiat karena wasiat adalah memindahkan kepemilikan dari seseorang (pemberi wasiat) pada orang lain (penerima wasiat) yang digantungkan pada berakhirnya masa kepemilikan pemberi wasiat tadi, yaitu setelah kematian. Akan tetapi, kaidah ini dikecualikan (istihsan) oleh ayat al-Qur’an:
من بعد وصية يوصي بها اودين (النساء : ١١(
Sedangkan contoh istihsan dengan as-Sunnah adalah hukum jual-beli as-salam. Yaitu menjual sesuatu yang telah jelas sifatnya namun belum ada dzatnya saat akad, dengan harga yang dibayar dimuka. Model ini tentu saja berbeda dengan model jual-beli yang umum ditetapkan oleh Syariat, yaitu yang mempersyaratkan adanya barang pada saat akad terjadi. Hanya saja, model jual beli ini dibolehkan penduduknya melakukan hal ini pada buah untuk masa satu atau dua tahun. Riwayat yang menjelaskan hal itu adalah:
عن ابن عباس رضي الله عنهما قال : قدم رسول الله صلى الله عليه و سلم المدينة والناس يسلفون في الثمر العام والعامين أو قال عامين أو ثلاثة, فقال ( من سلف في تمر فليسلف في كيل معلوم ووزن معلوم )
“Barang siapa yang melakukan (jual-beli) kurma dengan cara as-salaf, maka hendaklah melakukannya dalam takaran dan timbangan yang jelas (dan) untuk jangka waktu yang jelas pula.”
2.      Istihsan dengan Ijma’
Yakni adanya kesepakatan dari para ulama untuk memutuskan hukum atas suatu masalah yang menyelisihi hukum asal (ijma’ sarih), atau mendiamkan suatu praktek yang berlaku di masyarakat tanpa mengingkarinya (ijma’ sukuti). Contoh adalah akad yang terjadi dalam penggunaan air di kamar mandi umum dengan membayar sejumlah uang yang sudah ditentukan. Secara qiyas, akad seperti ini tidak dibolehkan karena adanya ketidakpastian (jahalah) kadar penggunaan air dan waktu pemakaian. Setiap orang harus membayar dengan biaya yang sama, padahal banyaknya air yang digunakan dan waktunya antara satu dengan yang lain berbeda-beda. Akan tetapi, akad ini menjadi boleh karena sudah berlaku dari masa ke masa tanpa adanya pengingkaran dari ulama. (Zidan, 1987: 233). Inilah yang dinamakan istihsan dengan ijma’, adanya kesepakatan para ulama tentang kebolehannya tanpa adanya pengingkaran.
3.      Istihsan dengan ‘Urf
Artinya meninggalkan apa yang menjadi kensekuensi qiyas menuju hukum lain yang berbeda karena ‘urf yang umum berlaku. Misalnya adalah kebolehan mewakafkan benda-benda bergerak seperti buku. Hukum asal wakaf hanya berlaku pada benda-benda tetap dan tidak bergerak seperti pekarangan. Akan tetapi, mewakafkan benda bergerak seperti itu menjadi boleh karena adanya kebiasaan di masyarakat yang membolehkannya. (Zidan, 1987: 233-234).
4.      Istihsan dengan kedaruratan
Artinya adanya kondisi darurat yang menjadikan seorang mujtahid meninggalkan qiyas untuk mewujudkan kemaslahatan atau untuk menghilangkan kemadharatan. Misalnya adalah mensucikan sumur atau kolam yang terkena najis. Dengan metode qiyas, sumur atau kolam itu tidak akan menjadi suci dengan membuang sebagian atau seluruh airnya. Membuang sebagian air, tidak akan membuat suci sebagian air yang lain, sedangkan membuang seluruh air tidak akan menjadikan suci pada air baru yang bersumber dari sumur karena najis sudah menempel di dasar sumur atau di dinding-dingding sumur. Dan hal tersebutakan terus menjadikan air sumur dalam keadaan najis. Dengan adanya kesulitan ini, maka para ulama berpindah dari penggunaan qiyas pada istihsan sehingga menghukumi sucinya sumur atau kolam tersebut dengan membuang air yang ada di dalamnya. (as-Sam’ani, t.t.: 343)
5.      Istihsan dengan Qiyas Khafi
Istihsan dengan qiyas khafi terjadi apabila ada dua macam qiyas dalam masalah yang dihadapi, yaitu qiyas khafi yang kuat pengaruhnya dengan qiyas jali yang lemah pengaruhnya, kemudian mujtahid memilih untuk berpindah dari qiyas jali ke qiyas khafi. Contoh lain, selain yang sudah disampaikan di depan tentang sisa minuman binatang carnivora, adalah tentang wakaf tanah pertanian. Ada dua qiyas yang biasa berlaku dalam akad wakaf tanah pertanian. Qiyas pertama, qiyas jali, yaitu menqiyaskan wakaf dengan jual beli yang menjadikan barang yang diwakafkan tidak lagi menjadi hal pemiliknya. Dalam hal ini, hak untuk minum, hak mengalirkan air, dan hak membuat jalan tidak termasuk yang diwakafkan kecuali diikrarkan oleh Wakif (orang yang mewakafkan). Qiyas kedua, qiyas khafi, yaitu menqiyaskan wakaf dengan sewa menyewa dalam arti kebolehan untuk memanfaatkan ‘ain, bukan memilikinya, sehingga dibolehkan juga memanfaatkan harta wakaf seperti meminum air dari sumber air yang ada, menjadikannya sebagai sarana mengalirkan air dan sebagainya tanpa harus ada ikrar dari si wakif. (az-Zuhaili, 1986: 746)
6.      Istihsan dengan Mashlahat
Istihsan yang didasarkan pada kemaslahatan misalnya adalah tentang tanggung jawab buruh atas kerusakan produk yang dibuatnya. Kaidah umum menyatakan bahwa buruh di suatu pabrik tidak bertanggung jawab atas kerusakan hasil komoditi yang diproduk pabrik tersebut kecuali atas kelalaian dan kesengajaan mereka, karena mereka hanya sebagai buruh yang menerima upah. Akan tetapi, demi kemaslahatan dalam memelihara harta orang lain dari sikap tidak bertanggung jawab para buruh dan sulitnya mempercayai sebagian buruh pabrik dalam masalah keamanan produk, maka ulama Hanafiah menggunakan istihsan dengan menyatakan bahwa para buruh harus bertanggung jawab atas kerusakan setiap produk pabrik itu, baik disengaja maupun tidak. (az-Zuhaili, 1986: 747 dan Haroen, 1997: 107)

C.    Kedudukan Argumentatif Istihsan
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, istihsan merupakan salah satu dalil yang diperselisihkan penggunaannya oleh para ulama, ada yang menerimanya sebagai salah satu hujjah dalam penetapan hukum Islam dan ada yang menolaknya. Berikut ini adalah penjelasan singkatnya.
Pertama, istihsan dapat digunakan sebagai hujjah. Pendapat ini dipegangi oleh Hanafiah, Malikiyah dan Hanabilah. Dalil yang dipakai untuk menguatkan pendapat ini antara lain:
1.      Firman Allah: واتبعوا أحسن ما أنزل إليكم من ربكم (الزمر: 55)
Menurut mereka, ayat ini menunjukkan adanya perintah untuk mengikuti yang terbaik. Perintah dalam ayat ini menunjukkan pada wajib karena tidak ada hal lain yang memalingkannya dari makna wajib. Hal ini menunjukkan bahwa istihsan adalah hujjah.
2.      Firman Allah: وبشر عباد الذين يستمعون القول فيتبعون أحسنه (الزمر: 18)
Dalam ayat ini, Allah memuji pada hamba-hamba-Nya yang mendengar dan mengikuti perkataan yang terbaik, dan pujian tentu tidak ditujukan kecuali untuk sesuatu yang disyari’atkan oleh Allah.
3.      Hadis Nabi SAW: فما راه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن
Hadis ini menunjukkan bahwa apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin dengan akal sehat mereka, maka ia pun demikian di sisi Allah. Dan ini menunjukkan kehujjahan istihsan. (al-Amidi, 1401H: 165)
4.      Ijma’
Ulama yang menjadikan istihsan sebagai hujjah mengatakan bahwa sudah ada kesepakatan (ijma’) dari para ulama tentang kebolehan menggunakan istihsan seperti kebolehan jual beli salam dan juga bolehnya menentukan harga penggunaan kamar mandi umum walaupun ada ketidakpastian tentang waktu penggunaan dan jumlah air yang terpakai.(al-Jashshash, 1405 H: 38)
Kedua, Istihsan tidak dapat dijadikan sebagai hujjah.
Pendapat ini dipegangi oleh ulama’ Syafi’iyyah dan Zhahiriyyah. Imam asy-Syafi’i dalam kedua karyanya ar-Risalah (1309 H: 25) dan al-Umm (t.t: 309-313) secara panjang lebar menjelaskan alasan penolakannya terhadap istihsan. Diantara alasan yang dipakai oleh asy-Syafi’i adalah sebagai berikut:
1.      Allah melarang adanya penetapan hukum kecuali dengan nash atau yang diqiyaskan pada nash.
Istihsan tidak termasuk kedua hal tersebut, sehingga bisa dimasukkan pada kategori menetapkan hukum dengan hawa nafsu yang terlarang. Allah berfirman: وان احكم بينهم بما أنزل الله ولا تتبع أهواءهم (المائدة: 48)
2.      Rasulullah tidak pernah memberikan keputusan hukum dengan dasar istihsan, akan tetapi selalu menunggu turunnya wahyu. Andaipun Nabi SAW menggunakan istihsan, pasti tidak akan salah karena Nabi tidak pernah mengucapkan sesuatu berdasar pada hawa nafsunya.
3.      Dasar istihsan adalah akal, dan tidak ada perbedaan dalam hal ini antara ‘alim dengan jahil.
Kalau setiap orang boleh memakai istihsan, tentunya setiap orang boleh membuat hukum untuk dirinya sendiri. (Az-Zuhaili: 749, al-Mawardi; t.t: 315-316)
2.      ISTISHLAH
A.    Pengertian Istishlah
Menurut bahasa yaitu perbuatan-perbuatan yang mendorong kepada kebaikan manusia baik dalam arti menarik atau menghasilakan keuntungan atau kesenangan atau dalam arti menolak/menghindarkan kemadharatan atau kesusahan. Pengertian yang lain menyatakan Istishlah adalah logika yang baik tentu baik untuk dipergunakan. Jadi apabila dikatakan bahwa perdagangan itu suatu kemaslahatan dan menuntut ilmu itu suatu kemaslahatan, maka hal tersebut berarti bahwa perdagangan dan menuntut ilmu itu penyebab diperolehnya manfaat lahir dan batin.
Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa menurut asalnya masalah itu berarti sesuatu yang mendatangkan keuntungan (manfaat) dan menjauhkan madharat (kesusahan).
ﺃﻠﻣﺣﺎﻓﻆﺔ ﻋﻟﻰ ﻣﻗﺻﻮ ﺍﻟﺷﺮﻉ
Memelihara tujuan syara’ (dalam menetapkan hukum)”.
Imam al-Ghazali memandang bahwa suatu kemaslahatan harus sejalan dengan tujuan syara’, sekalipun bertentangan dengan tujuan-tujuan manusia, karena kemaslahatan manusia tidak selamanya didasarkan kepada kehendak syara’, tetapi sering didasarkan kepada kehendak hawa nafsu. Misalnya, di zaman jahiliyah wanita tidak mendapatkan bagian harta warisan yang menurut mereka sesuai dengan adat-istiadat mereka, tetapi pandangan ini tidak sejalan dengan kehendak syara’, karenanya tidak dinamakan mashlahah.
Tujuan syara’ yang harus dipelihara lanjut al-Ghazali, ada lima bentuk yaitu : terpeliharanya agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Apabila seseorang melakukan perbuatan yang pada intinya untuk memelihara kelima aspek tujuan syara’ diatas maka dinamakan mashlahah. Al-Khawarizmi menyatakan :
ﺍﻟﻣﺣﺎﻓﻆﺔ ﻋﻟﻰ ﻣﻗﺻﻮﺩ ﺍﻟﺷﺭﻉ ﺑﺩ ﻓﻊ ﺍﻟﻓﺎﺳﺩ ﻋﻥ ﺍﻟﺧﻟﻕ
“memelihara tujuan syara’ (dalam menetapkan hukum ) dengan cara menghindarkan kesusahan dari manusia
Dari uraian diatas dapat kita mengerti bahwa tujuan dari hukum Islam adalah untuk mencapai kemaslahatan umat manusia dunia maupun akhirat. Kemaslahatan ini merupakan lima tujuan syara’ yaitu : terpeliharanya agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Disampig itu, juga segala upaya untuk mencegah segala bentuk kemudharatan yang berkaitan dengan kelima aspek tujuan syara’ tersebut juga dinamakan mashlahah.

B.     Macam-macam Istishlah.
Dalam kajian para ahli al-ijtihad mengemukakan terdapat tiga jenis mashlahah, yaitu :
1)      Mashlahah yang diakui ajaran syari’ah.
Yang terdiri atas tiga macam tingkat kebutuhan manusia, yaitu :.
1.      Mashlahah al-Dharuriyyah,
Yaitu kemaslahatan yang berhubungan dengan kebutuhan pokok umat manusia di dunia dan diakhirat. Kemaslahatan seperti ini ada lima, yaitu (1) memelihara agama, (2) memelihara jiwa, (3) memelihara akal, (4) memelihara keturunan, (5) memelihara harta. Kelima kemaslahatan ini, disebut dengan al-mashalih al-khamsah.
Dharuriyyah, (bersifat mutlak) karena menyangkut komponen kehidupannya sendiri sebagai manusia, yakni hal-hal yang menyangkut terpelihara dirinya (jiwa, raga, dan kehormatan) akal pikirannya, harta bendanya, nasab keturunannya dan kepercayaan agamanya. Permasalahan diataslah yang merupakan dasar mashlahah.
2.      Mashlahah al-Hajiyah,
Yaitu kemaslahatan yang dibutuhkan dalam menyempurnakan kebutuhan pokok, untuk menghindarkan kesulitan dan kemadharatan dalam kehidupannya.  Misalnya, dalam bidang ibadah di beri keringanan meringkas (qashr) shalat dan berbuka puasa bagi orang yang sedang musafir; dalam bidang mu’amalah dibolehkan berburu binatang dan memakan makanan yang baik-baik, di bolehkan jual beli pesanan (bay’ al-salam), kerjasama dalam pertanian (muzara’ah) dan perkebunan (musaqqah). Semua ini disyari’atkan Allah untuk mendukung kebutuhan mendasar al-mashalih al-khamsah diatas.
3.      Mashlahah al-Tahsiniyyah,
Yaitu kemaslahatan yang merupakan kebutuhan pelengkap dalam rangka memelihara sopan santun dan tata-krama dalam kehidupan. Misalnya, dianjurkan memakan makanan yang bergizi, berpakaian yang bagus-bagus, melakukan ibadah-ibadah sunat sebagai amal tambahan, dan berbagai jenis cara menghilangkan najis dari badan manusia.
Ketiga kemaslahatan ini perlu dibedakan, sehingga seorang Muslim dapat menentukan prioritas dalam mengambil suatu kemaslahatan sebelumnya. Kemaslahatan dharuriyyah harus lebih didahulukan dari kemaslahatan hajiyyah, dan kemaslahatan hajiyyah lebih didahulukan dari kemaslahatan tahsiniyyah.


2)      Mashlahah yang tidak diakui ajaran syari’ah
yaitu kepentingan yang bertentangan dengan mashlahah yang diakui terutama pada tigkat pertama. Mashlahah ini disebut Mashlahah al-Mulghah.
Mashlahah al-Mulghah, yaitu kemaslahatan yang ditolak oleh syara’, karena bertentangan dengan ketentuan syara’. Misalnya, syara’ menentukan bahwa orang yang melakukan hubungan seksual di siang hari bulan Ramadhan dikenakan hukuman dengan memerdekakan budak, atau puasa dua bulan berturut-turut, atau memberikan makan 60 orang fakir miskin (H.R. al-Bukhari dan Muslim). Al-Laits ibn Sa’ad (94-175 H/ahli fiqh Maliki di Spayol), menetapkan hukuman puasa dua bulan berturut-turut bagi seseorang (penguasa Spayol) yang melakukan hubungan seksual dengan istrinya di siang hari Ramadhan. Para ulama memandang hukum ini bertentangan dengan hadits Rasullah diatas, karena bentuk-bentuk hukuman itu harus ditetapkan secara berurut. Kemaslahatan seperti ini, menurut kesepakatan para ulama, disebut dengan mashlahah al-mulghah dan tidak bisa dijadikan landasan hukum.
3)      Mashlahah yang tidak terikat pada jenis pertama dan kedua.
Mashlahahini disebut dengan Mashlahah al-Mursalah.
Mashlahah al-Mursalah, yaitu kemaslahatan yang keberadaannya tidak didukung syara’ dan tidak pula dibatalkan/ditolak syara’ melalui dalil yang rinci. Kemashlahatan dalam bentuk ini terbagi kedalam dua macam yaitu :
1.      Mashlahah al-gharibah, yaitu kemashlahatan yang asing, atau kemashlahatan yang sama sekali tidak ada dukungan dari syara’, baik secara rinci maupun secara umum. Para ulama ushul fiqh tidak dapat mengemukakan contoh pastinya. Bahkan Imam Syathibi mengatakan kemaslahatan seperti ini tidak ditemukan dalam praktek, sekalipun ada dalam teori.
2.      Mashlahah al-Mursalah, yaitu kemaslahatan yang tidak didukung oleh sekumpulan makna nash yang rinci, tetapi didukung oleh sekumpulan makna nash (ayat atau hadist).
Najm al-Din al Thufi (675-716 H/1276-1316 M, ahli ushul fiqh Hambali), tidak membagi mashlahah tersebut, sebagaimana yang dikemukakan para ahli ushul fiqh diatas. Menurutnya, mashlahah merupakan dalil yang bersifat mandiri dan menempati posisi yang kuat dalam menetapkan hukum syara’, baik mashlahah itu mendapat dukungan dari syara’ maupun tidak.

Al-Mashlahah  al-‘ammah.
Hukum Islam mengenal mashlahah ‘ainiyah (kepentingan perorang dari setiap manusia, yang sifatnya umum yakni yang merupakan kepentingan setiap manusia dalam hidupnya, seperti yang digambarkan dalam uraian terdahulu tentang al-mashalih al-khamsah. Hal-hal ini terkait dengan taklif yang membentuk fardhu ‘ain. Seperti misalnya menyangkut mashlahah harta benda (untuk makan, pakaian, dan tempat tinggalnya), dan mashlahah akal pikiran (kewajiban menuntut ilmu bagi semua orang islam). Mashlahah ini terbagi atas dua macam mashlahah.
1.       Mashlahah al-‘Ammah, yaitu kemaslahatan umum yang menyangkut kepentingan orang banyak.
Kemaslahatan umum itu tidak berarti untuk kepentingan semua orang, tetapi bisa berbentuk kepentingan mayoritas umat atau kebanyakan umat. Misalnya, para ulama membolehkan membunuh penyebar bid’ah yang dapat merusak ‘aqidah uamat, karena menyangkut kepentingan orang banyak.
2.       Mashlahah al-Khasanah, yaitu kemaslahatan pribadi dan ini sangat jarang sekali.
Dalam hal ini Mashlahah al-Khasanah adalah merupakan kemaslahatan yang sifatnya pribadi dan sangat jarang sekali, seperti kemaslahatan yang berkaitan dengan pemutusan hubungan perkawinan seseorang yang dinyatakan  hilang (maqfud).
Pentingnya pembagian kedua kemaslahatan ini berkaitan dengan prioritas mana yang harus didahulukan apabila antara kemaslahatan umum bertentangan dengan kemaslahatan pribadi. Dalam pertentangan kedua kemaslahatan ini, Islam mendahulukan kemaslahatan umum daripada kemaslahatan pribadi.

C.    Kehujjahan Istishlah.
Ulama Hanafiyah mengatakan bahwa untuk menjadikan mashlahah al-mursalah sebagai dalil disyaratkan mashlahah tersebut berpengaruh pada hukum. Artinya, ada ayat, hadist, atau ijma’ yang menunjukkan bahwa sifat yang dianggap sebagai kemaslahatan itu merupakan ‘illat (motivasi hukum) dalam penetapan suatu hukum, atau jenis sifat yang menjadi motivasi hukum tersebut dipergunakan oleh nash sebagai motivasi sebagai hukum. Misal, sifat yang berpengaruh pada hukum tersebut adalah, Rasullah pernah ditanya tentang status sisa makanan kucing, apakah termasuk najis atau tidak. Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan Imam Malik dari Abi Qatadah dinyatakan :
ﺇﻦ ﺭﺳﻭﻝ ﺍﷲ ﺼﻟﻰ ﺍﷲ ﻋﻟﻳﻪ ﻭﺳﻟﻡ ﻗﺎﻝ ﻋﻦ ﺍﻟﻬﺭﺓ : ﺇﻧﻬﺎ ﻟﻳﺳﺕ ﺒﻧﺟﺱ ﺇﻧﻣﺎ ﻫﻲ ﻣﻥ ﺍﻟﻂﻭﺍﻔﻳﻥ ﻋﻟﻳﻛﻡ ﻭﺍﻟﻂﻭﺍﻔﺎﺕ
Bahwa Rasullah saw. Bersabda tentang kucing; bahwa kucing itu bukan najis, karena sesungguhnya kucing itu termasuk binatang rumah yang senantiasa mengelilingi kamu, tidak (menjadi najis) bagi kamu .
Keberadaan kucing yang senantiasa berada di rumah merupakan sifat yang membuat mereka bersih atau suci. Sifat yang menjadi motivasi hukum dalam hadist ini jelas, yaitu Thawwaf (hewan yang senantiasa berada di rumah, tidur di rumah dan sulit memisahkannya). Berdasarkan sifat ini maka hukum sisa makanan kucing itu tidak najis (suci). Oleh sebab itu, thawwaf merupakan motivasi dari hukum thaharah (suci) untuk menghindari kesulitan dari orang-orang yang memelihara kucing di rumahnya.
Ulama Malikiyah dan Hanabilah menerima mashlahah al-mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum, bahkan mereka dianggap sebagai ulama fiqh yang paling banyak dan luas menerapkannya. Menurut mereka mashlahah al-mursalah merupakan induksi dari logika sekumpulan nash, bukan dari nash yang rinci seperti yang berlaku dalam qiyas. Bahkan Imam Syathibi mengatakan bahwa keberadaan dan kualitas mashlahah al-mursalah itu bersifat pasti (qath’i), sekalipun dalam penerapannya bisa bersifat zhanni (relatif).
Untuk bisa menjadikan mashlahah al-mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum, ulama Malikiyah dan Hanabilah mensyaratkan tiga syarat, yaitu :
1.      Kemaslahatan itu haruslah merupakan suatu kemaslahatn yang hakiki,dan bukan suatu kemaslahatan yang bersifat dugaan saja. Yang dimaksud persyaratan ini ialah membuktikan bahwa pembentukan hukum pada suatu kasus mendatangkan kemanfaatan dan menolak kemudaratan.
2.      Bahwa kemaslahatan ini adalah kemaslahatan umum, dan bukan kemaslahatan pribadi. Yang dimaksud dengan persyaratan ini ialah untuk membuktikan bahwa pembentukan hukum pada suatu kasus adalah mendatangkan manfaat bagi mayoritas ummat manusia, atau menolak bahaya dari mereka, dan bukan untuk kemaslahatan individu atau sejumlah perseorangan yang merupakan minoritas ummat manusia.
3.      Bahwa pembentukan hukum berdasarkan kemaslahatan ini tidak bertentangan dengan hukum atau prinsip yang telah berdasarkan nash atau ijma’. Oleh karena itu, tidak syah mengakui kemaslahatan yang menurut perasaan antara anak laki-laki dan anak perempuan dalam kegiatan warisan, karena kemaslahatan ini dibatalkan, karena bertentangan dengan nash Al-Qur’an.
Ulama golongan Syafi’iyah, pada dasarnya, juga menjadikan mashlahah sebagai salah satu dalil syara’. Akan tetapi, Imam Syafi’i, memasukannya kedalam qiyas. Misalnya,ia meng-qiyas-kan hukuman bagi peminum minuman keras kepada hukuman orang yang menuduh zina, yaitu dera sebanyak 80 kali, karena orang mabuk akan mengigau dan dalam pengigauannya diduga keras akan menuduh orang lain berbuat zina. Al-Ghazali, bahkan secara luas dalam kitab-kitab ushul fiqhnya membahas permasalahan mashlahah al-mursalah. Ada beberapa syarat yang dikemukakan al-Ghazali terhadap kemaslahatan yang dapat dijadikan hujjah dalam mengistinbatkan hukum, yaitu :
1.      Mashalahah itu sejalan dengan jenis tindakan-tindakan Syara’.
2.      Mashlahah itu tidak meninggalkan atau beetentangan dengan nash syara’.
3.      Mashlahah itu termasuk kedalam kategori mashlahah yang dharuri, baik menyangkut kemaslahatan pribadi maupun kemaslahatan orang banyak dan universal, yaitu berlaku sama untuk semua orang.
Untuk yang terakhir ini al-Ghazali juga mengatakan bahwa yang hajjiyah, apabila menyangkut kemaslahatan orang banyak bisa menjadi dharuriyyah.
Jumhur ulama uamat Islam berpendapat, bahwasannya mashlahah al-mursalah adalah hujjah syar’iyyah yang dijadikan dasar pembentukan hukum, dan bahwasannya kejadiaan yang tidak ada hukumnya dalam nash, atau ijma, atau qiyas, ataupun istihsan, disyariatkan padanya hukum yang dikehendaki oleh kemaslahatan umum.
Alasan Jumhur Ulama dalam menetapkan mashlahah dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum, antara lain adalah :
1.      Hasil induksi terhadap ayat atau hadist menunjukkan bahwa setiap hukum mengandung kemaslahatan bagi umat manusia. Dalam hubungan ini Allah berfirman :
ﻭﻣﺎ ﺍﺭﺳﻟﻧﺎﻙ ﺇﻻ ﺭﺣﻣﺔ ﻟﻟﻌﺎﻟﻣﻳﻥ
Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) kecuali untuk menjadi rahmat bagi seluruh manusia. (Q.S. al-Anbiya’, 21 : 107).
Menurut Jumhur Ulama, Rasulullah itu tidak akan menjadi rahmat apabila bukan dalam rangka memenuhi kemaslahatan umat manusia. Selanjutnya, ketentuan dalam ayat-ayat al-Qur’an dan Sunnah Rasullah, seluruhnya dimaksudkan untuk mencapai kemaslahatan umat manusia, di dunia dan di akhirat.
2.      Bahwasannya kemaslahatan umat manusia selalu baru dan tidak ada habis-habisnya. Maka sekiranya hukum tidak disyariatkan untuk mengantisipasi kemaslahatan umat manusia yang terus bermunculan dan apa yang dituntut oleh perkembangan mereka, serta pembentukan hukum hanya berkisar pada berbagai kemaslahatan yang diakui oleh Syar’i saja, niscaya akan banyak kemaslahatn manusia yang tertinggal di berbagai tempat dan zaman, dan pembentukan hukum tidak mengikuti roda perkembangan manusia dan kemaslahatan mereka.
3.      Bahwa pembentukan hukum berdasarkan kemaslahatan ini tidak bertentangan dengan hukum atau prinsip yang telah berdasarkan nash atau ijma. Oleh karena itu tidak syah mengakui kemaslahatan yang menuntut persamaan antara anak laki-laki dan anak perempuan dalam bagian warisan, karena kemaslahatan ini dibatalkan, karena ia bertentangan dengan nash Al-Qur’an.
4.      Jumhur ulama juga beralasan dengan merujuk kepada beberapa perbuatan sahabat, seperti Umar ibn al-Khaththab tidak memberi bagian zakat kepada para mu’allaf (orang yang baru masuk Islam), karena menurut Umar, kemaslahatan orang banyak menuntut untuk hal itu. Abu Bakar mengumpulkan al-Qur’an atas saran Umar ibn al-Khaththab, sebagai salah satu kemaslahatan untuk melestarikan al-Qur’an dan menuliskan al-Qur’an pada satu logat bahasa di zaman Utsman ibn Affan demi memelihara tidak terjadi perbedaan bacaan al-Qur’an itu sendiri.

BAB III
PENUTUP
 Kesimpulan
Paparan di atas memberikan sedikit gambaran tentang perbedaan antara pendukung dan penentang istihsan maupun istislah yang pada hakikatnya hanya berupa perbedaaan redaksional. Sebagai sebuah metode penetapan hukum yang tetap berpegang pada dalil, istihsan dan istishlah disepakati penggunaannya oleh semua ulama. Bila melihat bahwa tujuan utama penggunaan istihsan dan istishlah adalah menghilangkan kesulitan dan mencapai kemaslahatan maka istihsan merupakan salah satu metode penetapan hukum yang sangat mungkin untuk dilakukan pengembangan dan modifikasi agar bisa menjadi salah satu metode penetapan hukum yang dinamis, berkembang sesuai dengan perkembangan waktu. Wallahu A’lam bi as-Sawab.

DAFTAR PUSTAKA
1.      Ali Yafie, KH.,Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah : Kosep-konsep Istihsan, Istishlah, Dan Mashlahat Al-Ammah (Edit.) Budhy Munawar-Rachman, Jakarta : Yayasan paramadina, 1994.
2.      Nasrun Haroen, DR., H., M.A., Ushul Fiqh I, Ciputat : P.T. Logos Wacana Ilmu, Cet. II, 1997.
3.      Muhlisin Bisyri,Drs., H., SE., M.Ag., Diktat Sederhana Ushul Fiqh II, Semarang : SETIA WS, Tanpa Tahun.
4.      Abdul Wahhab Khallaf, Prof, Ilmu Ushul Fiqh, (pen.), Moh. Zuhri, Drs, H, Dipl. TAFL, dan Ahmad Qarib, Drs, MA, Semarang : Dina Utama, 1994.


1 komentar:

  1. Anang

    Thanks to have shared information with me.

    6 Agustus 2020 pukul 15.06

Posting Komentar

Pages

Total Tayangan Halaman

Powered By Blogger
Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini